Senin, 02 Februari 2009

Merajut Kemiskinan Rakyat dengan Nurani Kebangsaan

Oleh, Adin Bondar *)

“Ibu, Ibu...! aku lapar”, dengan suara pelan keluar dari mulut Dian Susanto (13) seorang anak kecil yang dipangku ibunya, tubuh yang kurus kering terkapar tidak berdaya. Tiga hari lamanya warga kelurahan Karang Joang, Kota Balikpapan ini nyaris tidak makan, karena kemiskinan.
Masalah yang sama Aldino (5), balita gizi buruk asal Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang tubuhnya tinggal kulit pembungkus tulang. Lebih pedih lagi, Albagir (2) anak batita asal Kota Palembang yang harus meninggalkan dunia fana (25/3) di Rumah Sakit M. Hoesin karena gizi buruk, dan bahkan banyak lagi anak-anak negeri ini yang mengalami nasib yang sama.
Melihat fenomena yang dialami masyarakat timbul pertanyaan, ”Mengapa di negeri yang penuh sumber daya alam ini masih banyak masyarakat miskin?” Ironis, rakyat kelaparan di lumbung padi, rakyat kehausan dialiran sungai yang jernih, masyarakat miskin moral dalam negara yang agamis dan berbudaya.
Kebijakan yang tidak berpihak
Seabad bangsa Indonesia memerangi kemiskinan. Namum, masyarakat miskin semakin banyak, gizi buruk dan kelaparan, pengemis jalanan ada dimana mana. Kemiskinan masyarakat bukan hanya kemiskinan ekonomi tapi juga kemiskinan moralitas. Seperti, tauran, narkoba, seks bebas, korupsi di kalangan akar rumput dan elit politik.
Upaya pemerintah dalam menangani kemiskinan rakyat sudah dilakukan sejak bangsa Indonesia merdeka. Namun, belum menunjukkan perbaikan yang nyata. Data menunjukkan bahwa masyarakat miskin masih cukup signifikan ± 45 juta jiwa atau 19.1 juta keluarga miskin (Kompas, 23 Mei 2008).
Jika tahun 1986 bangsa Indonesia mampu menjadi macan Asia di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Bahkan pencapaian pembangunan cukup pantastik dan diakui oleh dunia internasional sebagai negara yang berhasil dalam swasembada pangan. Pemerintah mendapat penghargaan dari PBB yang membidangi urusan pangan FAO. Tidak hanya itu, pembangunan sektor lainnya tergolong baik seperti pertumbuhan ekonomi dan kesehatan masyarakat. Namun, pencapaian ini tidak lama bertahan seiring dengan merebaknya demoralisasi pengelolaan negara; budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang meluluh lantakkan sendi-sendi ideologi, politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.
Menurut penulis faktor penyebab utama kemiskinan adalah: pertama, kebijakan pembangunan yang kurang utuh dan komprehensif dalam membangun kehidupan masyarakat. Pencapaian pembangunan berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Konsep pertumbuhan ekonomi menjadikan fokus pencapaian pemerintah melalui pendekatan cost-profit bukan cost-benefit. Artinya, pencapaian pemerintah dalam pembangunan titik ungkit pada investasi pembangunan melalui kontribusi finansial sehingga struktur budaya dan moral melemah. Akibatnya, korupsi dan individualisme terbangun terstruktur, sedangkan karakter bangsa yang sarat dengan tepo saliro dan gotong royong terasimilasi dengan budaya kapitalisme.
Contoh, pemberian ijin kepada investor dalam mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia dengan memberikan ijin seluas-luasnya sehingga menghancurkan tatanan budaya dan sosial serta kearifan lokal setempat, PT. Free Fort di Papua, PT. Indorayon di Sumatera Utara, dll. Penanganan bencana semburan lumpur dari lapangan gas milik Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo Jawa Timur, kebijakan pemerintah mendua hati dan tidak berpihak terhadap masyarakat mengakibatkan banyak jatuh miskin.
Kesalahan kebijakan juga terlihat pada target prioritas pembangunan yang selalu menitik beratkan pertumuhan ekonomi melalui eksploitasi industrialisasi. Kemandirian rakyat dan ketahanan sosial hampir tidak tertangani dengan baik sehingga modal sosial (social capital) hancur, termasuk lahan pertanian dan lingkungan beralih fungsi. Kedua, lemahnya nurani kebangsaan Indonesia. Artinya, disinternalisasi filosopi dasar negara yaitu Pancasila sebagai visi bangsa Indonesia. Negara yang dibangun oleh founding father yang disebut dengan lima dasar dalam Pancasila, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan tidak menjadi visi pembangunan Indonesia. Kegagalan ini, mengakibatkan kemiskinan terbuka yaitu kemisikinan ekonomi dan moral di masyarakat maupun penyelenggara negara.
Nurani kebangsaan
Penanganan kemiskinan di Indonesia dapat dijawab dengan revitalisasi nurani kebangsaan. Nurani kebangsaan dimaksud adalah Ketuhanan-Kemanusiaan-Persatuan-Kerakyatan-Keadilan. Penguatan nilai-nilai luhur Pancasila ini dijadikan budaya dan karakter bangsa dan menjadikannya komitmen kolektif masyarakat dan pemerintah yang dituangkan dalam visi dan misi Indonesia. Rencana aksi revitalisasi nurani kebangsaan ini dapat diimplementasikan melalui:
Pertama, ketuhanan; pemerintah perlu kembali menanamkan nilai-nilai agama dalam pencapaian pembangunan nasional. Rencana aksi yang dikembangkan adalah kebebasan pemeluk agama dalam menanamkan keyakinannya melalui penyediaan fasilitas ibadah, jaminan kebebasan beragama dan penajaman kembali kurikulum agama di lingkungan pendidikan anak usia dini (PAUD), SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi dan pendidikan dan pelatihan penyelenggara negara. Bertujuan untuk membangun moralitas masyarakat secara komprehensif sehingga budaya korupsi dan demoralisasi terkikis dari bumi Indonesia
Kedua, kemanusiaan; membangun perlindungan dan ketahanan sosial masyarakat. Rencana aksi yang dikembangkan adalah memberikan jaminan terhadap masyarakat yang kurang mampu ekonomi dalam eksplorasi potensi mereka baik dalam aspek pendidikan, kesehatan dan pekerjaan. Jaminan kebutuhan dasar berupa pendidikan gratis, pekerjaan, rasa aman serta jaminan kesehatan melalui penyebaran tenaga para medis dengan sasaran target keluarga miskin. Program ini bertujuan menciptakan masyarakat miskin menjadi manusia yang produktif, kreatif dan inovatif.
Ketiga, persatuan; membangun sistem ketahanan negara melalui jaminan keseimbangan dan kesinambungan pembangunan lintas wilayah provinsi dan kabupaten/kota serta pemberdayaan masyarakat di wilayah perbatasan, terisolir dan terbelakang. Pemerintah bertindak tegas munculnya kelompok sparatis maupun kelompok kekerasan yang mengatas namakan suku, agama dan ras. Membangun sebuah tatanan baru yang berbasis nasionalisme, menyatupadukan kekuatan budaya lokal menjadi simbol budaya nasional serta melestarikannya secara utuh.
Keempat, kerakyatan; membangun politik nasional dengan basis akar rumput ”dari rakyat dan untuk rakyat” serta demokratisasi yang beretika. Termasuk, keterwakilan tokoh masyarakat dan tokoh budaya dalam kancah politik sebagai tokoh sentral dalam misi pembangunan ketahanan budaya. Konsep ekonomi kerakyatan sebagai prioritas pembangunan dengan membangun pertanian dan kehutanan, perikanan dan kelatuan dengan teknologi tepat guna sebagai potensi terbesar alam Indonesia, menumbuh kembangkan industri rumah tangga dengan jaminan dana melalui pemberian kredit mikro.
Kelima, keadilan; membatasi eksploitasi sumber daya alam oleh perorangan dan korporasi. Eksploitasi bumi Indonesia oleh pengusaha diwajibkan memberikan dana sosial 15% dari pendapatan dalam membangun fungsi sosial, budaya dan pendidikan masyarakat setempat. Penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan bagi setiap masyarakat tanpa memandang buluh dan fokus pada tindak pidana korupsi dan ilegal loging serta penyelenggaraan negara yang transparan dan akuntabel, memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat dalam berusaha, berkreasi, dan berkarya, serta jaminan pengalokasian APBN/APBD dengan rasio 30% untuk aparatur dan 70% kepentingan publik secara konsisten dan taat asas. Mari kita bangun bangsa ini dengan hati nurani kebangsaan. Merdeka!
*) Adin Bondar, adalah pemerhati sosial dan simpatisan Partai Hanura, berdomisili di Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar