Minggu, 08 Februari 2009

Mempertanyakan Kemerdekaan Masyarakat Terhadap Akses Perpustakaan!

Oleh, Adin Bondar, S.Sos, M.Si
Disampaikan dalam Diskusi Jambore Nasional Perpustakaan di Cibubur


Republik Indonesia mencapai usianya yang ke-62 tahun. Artinya, sejak bangsa ini merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sejak itupula rakyat sesunguhnya terbebas dari berbagai belenggu yang menghambat dirinya dalam berkreasi, berkarya dan berprestasi guna meningkatkan kualitas hidupnya. Keinginan luhur ini juga termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pertanyaannya, adakah masyarakat mengalami kemerdekaan yang sesungguhnya? Menurut hemat penulis, definisi kemerdekaan saat ini adalah lebih kearah kondisi sosial masyarakat bebas dari keterikatan kebodohan dan kemiskinan. Ketika, fenomena sosial ini masih tetap mendomisasi kehidupan masyarakat, maka saat itu juga Indonesia belumlah merdeka sesungguhnya. Kenyataan yang ada kebelengguan sosial ini terapresiasi belum meratanya akses masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidup. Artinya, masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidupnya masih diperhadapkan pada sistem yang masih menghambat diri mereka karena aspek ekonomis dan sosiologis.

Masyarakat dunia akan jaminan kemerdekaan dalam memerangi kebodohan dan ketertinggalan didukung melalui komitmen bersama “education for all” atau pendidikan untuk semua. Prinsip ini mencerminkan bahwa akses pendidikan bagi masyarakat diberikan seluas-luasnya tanpa memandang kemampuan sosiologis dan ekonomis suatu individu sehingga pencapaian peningkatan kualitas hidup seseorang dapat dicapai dengan baik. Ironisnya, pemerintah dalam kebijakan pendidikan saat ini justru kurang berpihak pada keadaan ekonomi masyarakat. Pendidikan dijadikan sebagai dunia usaha, bukan menjadi institusi masyarakat. Alhasil, parameter benefit daripada kebijakan ini menjadikan banyaknya anak putus sekolah dan terjadinya pengangguran dan kemiskinan yang semakin meningkat. Kebijakan bidang pendidikan yang kurang optimal dalam pendidikan juga terlihat pada kebijakan pemerintah melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagai kompensasi dari subsidi BBM. Lagi-lagi implementasi strategis ini bukan mejadi senjata pamungkas dalam memperingan beban masyarakat ekonomi lemah akan tetapi sasaranya justru dinikmati mereka dari kalangan ekonomi mampu.

United Nation Development Program tahun 2005, yang menyatakan bahwa indeks pembangunan manusia Indonesia menempati urutan 110 dari 117 negara. Salah satu dimensi dasar pembangunan manusia tersebut, ditinjau dari aspek “pendidikan yang diukur dengan tingkat baca tulis”. Data Susenas 2004 menunjukkan bahwa angka buta aksara penduduk berusia tua ternyata lebih tinggi dibanding penduduk usia muda, sedangkan angka buta aksara penduduk usia muda lebih banyak ditemukan di pedesaan (15,5 : 12,8), sebaliknya angka buta aksara penduduk usia tua lebih banyak di perkotaan (39,1 : 30,4).

Kemampuan keaksaraan ditentukan oleh tingkat pendidikan sehingga mayoritas (84,3%) tidak/belum pernah sekolah dan sisanya pernah bersekolah maksimal sampai kelas IV SD/MI. Artinya, ada anak yang sudah pernah sekolah tetapi tidak bisa membaca. Kemungkinannya adalah: (1) pada dasarnya mereka belum bisa membaca; atau (2) mereka menjadi buta huruf kembali (rellapsed illiteracy) setelah tidak sekolah.

Kondisi di atas menunjukkan, bahwa kemampuan membaca dan menulis membutuhkan latihan dan pembinaan terus menerus. Selain itu, pada umumnya anak-anak yang putus sekolah di kelas-kelas awal SD/MI berasal dari keluarga miskin. Setelah keluar dari sistem persekolahan, mereka tidak bersentuhan lagi dengan buku bacaan sehingga kemampuan membaca yang memang belum stabil menjadi hilang. Di sinilah perlunya peran perpustakaan dalam fasilitasi interaksi pengetahuan dan stimulasi untuk mempertahankan kemampuan membaca melalui ketersediaan bahan bacaan yang dapat diakses dengan mudah dan murah disamping fungsi pelestari nilai-nilai sosial atau budaya masyarakat yang merupakan komponen karya intelektual lokal.

Inisiasi Pembangunan Perpustakaan:
”Slogan Keberpihakan Masyarakat”

Pentingnya peranan perpustakaan dalam membangun masyarakat juga menjadi agenda global melalui kesepakatan dunia World Summit of Information Society (WSIS) yaitu membangun masyarakat informasi berbasis aplikasi teknologi informasi dan telekomunikasi atau disingkat TIK untuk pencapaian Millenium Development Goals (MDG’s). Lebih lanjut dalam kesepakatan itu menjelaskan untuk membangun masyarakat informasi yang inklusif, berpusat pada manusia dan berorientasi secara khusus pada pembangunan, di mana setiap orang dapat mencipta, mengakses, menggunakan, dan berbagi informasi serta pengetahuan, hingga memungkinkan setiap individu, komunitas dan masyarakat luas menggunakan seluruh potensi mereka untuk pembangunan berkelanjutan yang bertujuan pada peningkatan mutu hidup. Deklarasi WSIS menyatakan potensi perpustakaan dalam menyediakan akses layanan informasi berbasis TIK bagi masyarakat. Informasi publik harus mudah diakses dan dijaga kesahihannya dalam rangka pembangunan masyarakat informasi. Hambatan akses informasi untuk kegiatan ekonomi, sosial, politik, kesehatan, budaya, pendidikan, dan ilmu pengetahuan harus dihilangkah untuk meningkatkan proses saling berbagi dan menguatkan pengetahuan global guna pembangunan

Jika ini terjadi, bagaimana dengan kesiapan Indonesia? Kondisi perpustakaan, pada umumnya masih belum merata keberadaannya. Sebagi contoh, perpustakaan sekolah sebagai integral proses pendidikan baru berjumlah 12.273 sekolah yang memiliki perpustakaan dari jumlah 213.815 sekolah atau sekitar 5,75% (Diknas: NPS,2005), sedangkan perpustakaan desa yang merupakan ’domain public’ baru berjumlah 781 yang memiliki perpustakaan atau 1.13% dari jumlah 68.816 desa yang ada. Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa fokus pengembangan perpustakaan masih pada taraf segmen komunitas perkotaan. Sedangkan masyarakat yang tinggal di pedesaan, daerah tertinggal masih belum terjangkau oleh layanan perpustakaan sama sekali.

Jika kita melihat kebelakang, pemerintah sesungguhnya telah meletakkan dasar yang bagus pada pembangunan perpustakaan masyarakat di tanah air sejak tahun 1953 silam. Ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 7870/Kab. Jakarta 5 Maret 1953 dan Kepala Jawatan Pendidikan Masyarakat Kementrian P.P. Dan K. Nomor 10244/Kab. Jakarta 26 November 1953 tentang Peraturan Perpustakaan Rakyat. Dalam Keputusan ini dijelaskan bahwa Perpustakaan rakyat adalah perpustakaan untuk bacaan masyarakat umum yang bertujuan; (1) menghidupkan dan memelihara minat dan hasrat rakyat Indonesia untuk membaca dan belajar sendiri; (2) mempertinggi dan memperluas pengetahuan kecerdasan dan kesadaran rakyat, dan (3) mempertinggi dan memperluas akhlak rakyat. Pada pasal 4 menjelaskan Perpustakaan Rakyat diadakan di ibukota Provinsi/Kabupaten/Kecamatan dan Kota-Kota/tempat lain. Upaya menumbuh kembangkan perpustakaan desa/kelurah dalam upaya pencerdasan bangsa juga diperkuat dengan dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tentang Perpustakaan Desa/Kelurahan. Sesungguhnya negeri ini telah banyak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan dalam pertumbuhan perpustakaan di negeri ini.

Tidak kalah menarik juga sejak diberlakukannya desentralisasi dan otonomi daerah. Inkonsepsi tentang pembentukan lembaga perpustakaan di provinsi menjadi permasalahan pokok setelah diserahkannya Perpustakaan Nasional Provinsi sebagai perangkat daerah 1 Januari 2001. Otoritas daerah tidak sadar betul bahwa penyelenggaraan pemerintah di bidang perpustakaan tidak dipandang sebagai sektor yang tidak strategis dalam mencerdaskan bangsa. Sehingga menimbulkan inkonsistensi kelembagaan di daerah, dengan hasil 25 eks Perpustakaan Nasional Provinsi diurai menjadi 6 daerah digabung dengan Arsip, 1 Kantor dan 2 UPTD sisanya tetap menjadi Badan Perpustakaan. Salah satu fenomena ini membangun inisiasi pemerintah untuk melahirkan sebuah UU tentang Perpustakaan di negeri ini, agar adanya jaminan akses masyarakat pada perpustakaan sebagai institusi publik yang harus ada di starata masyarakat. Bukan hanya itu saja, upaya pemerintah dalam menjamin akses terhadap perpustakaan juga tertuang dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembangian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Perpustakaan menjadi urusan wajib (psl 6). Artinya, perpustakaan menjadi pelayanan dasar bagi masyarakat yang merupakan urusan pemerintah yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.

Niat baik pemerintah mendorong perpustakaan salah satu instrumen dalam mewujudkan adanya jaminan belajar sepanjang hayat sebagai instrumen strategis dalam transpormasi pengetahuan, dibuktikan dengan inisiasi Presiden Republik Indonesia terhadap pentingnya perpustakaan dalam mewujudkan budaya baca masyarakat serta menjaga kesinambunga melek huruf di kalangan masyarakat yang sudah tidak bersekolah, melalui; (1) pencanangan Hari Aksara dan Kunjung Perpustakaan serta Bulan Gemar Membaca, tanggal 14 September 1995 oleh Presiden RI H.M. Soeharto, di Banjarmasin; (2) pencanagan Gerakan Membaca Nasional, tanggal 12 November 2003, oleh Presiden RI Megawati Soekarno Putri, di Istana Negara, dan (3) pencanangan Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat, di Jakarta tanggal 17 Mei 2006 oleh Presiden RI, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono.

Apa Sesungguhnya Menjadi Masalah?

Upaya peningkatan akses masyarakat terhadap perpustakaan di Indonesia secara legalitas formal telah menunjukkan kemauan yang baik. Ini dibuktikan dengan kebijakan/regulasi perpustakaan oleh pemerintah yang telah dimulai sejak tahun 50 an. Mengingat kebijakan pembangunan perpustakaan telah cukup lama, tentu kemerdekaan masyarakat terhadap akses perpustakaan tidak lagi menjadi pertanyaan besar di negeri ini. Paling tidak perpustakaan telah menjadi instrumen strategis sebagai agen perubahan sosial yang dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup bangsa. Berhubungan dengan permasalahan di atas, ada berbagai pemikiran penulis yang menjadi permasalahan pembangunan bidang perpustakaan tidak berkembang:

Pertama, kebijakan pembanguan perpustakaan oleh pemerintah hanya pada sebatas wacana atau kata lain “di atas kertas”. Artinya, keberpihakan pemerintah sesungguhnya hanya pada tataran “perpustakaan itu penting”. Namun, tidak memiliki konsep yang jelas dalam upaya membanguan perpustakaan sebagai integral pendidikan sepanjang hayat. Ini terlihat dari implementasi strategis pemerintah belum mampu melakukan rencana tindak yang dituangkan dalam dokumen perencana pembangunan nasional baik pada dokumen rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menegah sebagai program prioritas maupun fokus-fokus kegiatan pembangunan.

Kedua, konsep perencanaan pembangunan di bidang perpustakaan belum berfokus pada pengembangan masyarakat pedesaan. Idealnya, pengembangan perpustakaan harus berorientasi pada pembangunan dan penguatan komunitas masyarakat pedesaan. Artinya, perpustakaan desa dan sekolah harus menjadi pembangunan prioritas. Dalam mendukung pemikiran ini, tentu perlu merubah paradigma berfikir terbalik ‘button up’ pembangunan dari akar rumput yaitu berfokus pada penguatan ekonomi atau ketahan masyarakat melalui pengembangan budaya baca melalui perpustakaan desa. Pembangunan perpustakaan dan penyebarluasan buku-buku bacaan berbasis masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena penyebaran masyarakat Indonesia berada di pedesaan atau 60% menempati kecamatan dan pedesaan. Salah satu kendala pengembangan perpustakaan desa ini adalah keterbatasan alokasi APBN untuk pembangunan bidang perpustakaan yang belum optimal. Bandingkan, APBN Perpustakaan Nasional tahun 2006 hanya sebesar Rp. 200 milyar. Namun, yang patut dibanggakan adalah upaya Perpustakaan Nasional dalam penguatan pembangunan pedesaan melalui perpustakaan dilakukan melalui diversifikasi layanan perpustakaan melalui Mobil Perpustakaan Keliling (MPK) dan desiminasi buku bacaan ke daerah tertinggal, daerah pascabencana dan konflik serta daerah perbatasan.

Ketiga, para ahli pepustakaan atau akademis membangun paradigma berfokus pada aksesibilitas layanan perpustakaan terhadap penerapan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Trend perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadi isu strategis dan menjadi indikator dan/atau barometer kemajuan pencapaian layanan perpustakaan di masyarakat. Kerangka berfikir semacam ini menimbulkan upaya percepatan pembangunan perpustakaan hanya pada komunitas tertentu atau pada kalangan civitas akademika atau komunitas masyarakat yang userfriendly terhadap TIK padahal kita lupa bahwa basis masyarakat yang paling dominan di pedesaan adalah masyarakat “gatek” atau masyarakat yang tidak mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Keempat, perumusan pengembangan layanan perpustakaan bersifat sektoral. Artinya, kemitraan pengembangan perpustakaan pada lintas instansi teknis masih belum optimal. Akselerasi pencapaian perpustakaan masih dilakukan oleh pemerintah saja. Aliansi kerjasama dengan masyarakat dan dunia usaha belum berjalan dengan baik sebagai mitra kerja. Sehingga pembiayaan perpustakaan sebagian besar masih mengandalkan atau bergantung pada kemampuan APBN/APBD yang sangat terbatas. Upaya lain yang belum dilakukan adalah menggali dana-dana peruntukan publik yang ada pada sektor swasta belum dapat disinerjikan dengan APBN dalam pembiayaan pengembangan perpustakaan masyarakat. Disamping itu, pengelolaan perpustakaan yang sudah berjalan didominasi oleh pustakawan. Idealnya, pengelolaan perpustakaan sebaiknya lintas interdispliner dan bukan hanya dikembangkan oleh pustakawan, namun tetap dibutuhkan kemitraan dengan berbagai profesi lain seperti; arsitektur, disain interior, pemasaran, psikologi, dll. Hal ini dibutuhkan agar layanan yang diberikan memiliki daya jual sehingga lebih diterima masyarakat atau pemakai perpustakaan. Sebagai contoh, beberapa perpustakaan yang ada berjalan dan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, namun kurang diberdayakan masyarakat dikarenakan kurang dapat memberikan daya tarik terhadap pemakai.

Kelima, penyebaran SDM bidang perpustakaan tidak merata bahkan terpusat pada wilayah tertentu seperti Jawa dan Sumatera. Disamping itu, rasio pustakawan yang telah mendapat pengakuan dari pemerintah jumlahnya masih kecil. Saat ini, pustakawan baru berjumlah 2.931 orang. Sedangkan pengelola perpustakaan yang sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan perpustakaan baru mencapai 24% atau 6.900 orang dan yang belum pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan perpustakaan mencapai 76% atau 21.064 orang (Pusdiklat Perusnas, 2006). Jadi, jika hanya 2.931 orong pustakawan di republik ini, berarti rasio pustakawan dengan jumlah penduduk Indonesia ± 210 juta jiwa adalah 1 : 71.648. Artinya 1 orang pustakawan melayani penduduk sebanyak 71.648 orang.

Membangun Perpustakaan Berbasis ”Gotong Royong”

Ketika negara Jepang dilanda gempa pada tahun 1995 yang disebut dengan Gempa Kobe yang meluluh lantakkan pemukiman masyarakat, pada saat itu pemerintah Jepang tidak mampu sendirian untuk merekonstruksi kembali rumah dan fasilitas penduduk yang hancur. Percepatan pemulihan adalah dikarenakan masyarakat setempat berpartisipasi dalam mengkonstruksi kembali pemukiman mereka melalui semangat kebangkitan ‘Machizukuri’. Pengalaman ini, membuat pemerintah Jepang mereposisi konsep pembangunan mereka melibatkan masyarakat atau disebut Partisipasi Masyarakat. Konsep ini menawarkan bahwa masyarakat bukan hanya Obyek pembangunan akan tetapi juga sebagai Subyek pembangunan yang disebut Pembangunan Partisipatif.

Sesungguhnya, masyarakat Indonesia telah mengenal sejak dulu “partisipasi” atau gotong royong sebagai modal sosial masyarakat. Contoh, di masyarakat Batak disebut “Marsiadapari” ketika masyarakat Batak membangun rumah dan menggarap sawah semua ikut serta saling bahu-membahu atau masyarakat Minang dengan “Gebu Minang” (Gerakan Seribu Minang)”. Namun, belakangan ini kearifan lokal ini tidak lagi dimiliki oleh bangsa ini.

Dalam konteks ini, bahwa partisipasi masyarakat mutlak diperlukan dalam segala aspek pembangunan termasuk dalam pembangunan perpustakaan. Akselerasi pencapaian pembangunan perpustakaan harus dilakukan secara gotong royong antara Pemerintah, Masyarakat dan Dunia Usaha agar kesinambungannya berjalan dengan baik sebagai institusi masyarakat. Dalam koneks luas, sebagaimana otonomi daerah sekarang ini, akselerasi pencapaian pembangunan perpustakaan diperlukan konsep gotong royong dilakukan dengan keterpaduan perencanaan melalui aliansi sinergi program lintas kementerian/lembaga pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota serta keterlibatan masyarakat. Hal ini dimungkinkan, adanya pendelegasian kewenangan atau pembangian tugas antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota yang menjadi kewengangan masing-masing sebagaimana digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada level pemerintahan, konsep aliansi sinergi program perpustakaan ini dapat dilakukan Departemen Pendidikan Nasional, Perpustakaan Nasional, Departemen Dalam Negeri, Departemen Agama. Kemungkinan ini dapat dilakukan, seperti contoh alokasi APBN bidang pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 sebesar 20% dengan pengalokaian terbesar adalah Depdiknas perlu dilakukan sinergi program dengan Perpustakaan Nasional yang alokasi anggarannya masih relatif kecil, namun sasaran tugas pokok dan fungsinya meliputi seluruh wilayah tanah air. Pada keempat Kementerian/Lembaga ini masing-masing memiliki program pengembangan perpustakaan masyarakat.

Keterlibatan masyarakat dapat berupa fungsi kontrol ataupun dapat berperan langsung melalui pemberian lahan atau sejenisnya agar kesinambungan layanan perpustakaan dapat terjamin. Atau, masyarakat juga langsung berperan membangun perpustakaan dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah, seperti yang telah dilaksanakan berbagai lembaga masyarakat yang memiliki perhatian besar terhadap pengembangan perpustakaan dan budaya baca, seperti Yayasan Membaca Indonesia, Coca-Cola Foudation, SIKIB, dll. Sedangkan partisipasi dunia usaha, dapat mendorong pembangunan perpustakaan melalui pemberian dana segar yaitu dana-dana yang diperuntukkan sebagai dana pengembangan masyarakat. Dunia usaha yang berkaitan langsung dengan pengembangan perpustakaan dapat berupa penerbit, toko buku, industri teknologi informasi, pengarang/penulis atau dunia usaha lainnya yang juga perlu dilibatkan dalam pembangunan perpustakaan masyarakat. Konsep aliansi ini juga diperlukan pada tataran daerah yaitu Dinas Pendidikan Provinsi bersinergi program dengan Badan/Kantor/UPTD Perpustakaan Provinsi, atau Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota serta dunia usaha lainnya yang ada di wilayah masing-masing. ***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar