Minggu, 08 Februari 2009

Mempertanyakan Kemerdekaan Masyarakat Terhadap Akses Perpustakaan!

Oleh, Adin Bondar, S.Sos, M.Si
Disampaikan dalam Diskusi Jambore Nasional Perpustakaan di Cibubur


Republik Indonesia mencapai usianya yang ke-62 tahun. Artinya, sejak bangsa ini merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sejak itupula rakyat sesunguhnya terbebas dari berbagai belenggu yang menghambat dirinya dalam berkreasi, berkarya dan berprestasi guna meningkatkan kualitas hidupnya. Keinginan luhur ini juga termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pertanyaannya, adakah masyarakat mengalami kemerdekaan yang sesungguhnya? Menurut hemat penulis, definisi kemerdekaan saat ini adalah lebih kearah kondisi sosial masyarakat bebas dari keterikatan kebodohan dan kemiskinan. Ketika, fenomena sosial ini masih tetap mendomisasi kehidupan masyarakat, maka saat itu juga Indonesia belumlah merdeka sesungguhnya. Kenyataan yang ada kebelengguan sosial ini terapresiasi belum meratanya akses masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidup. Artinya, masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidupnya masih diperhadapkan pada sistem yang masih menghambat diri mereka karena aspek ekonomis dan sosiologis.

Masyarakat dunia akan jaminan kemerdekaan dalam memerangi kebodohan dan ketertinggalan didukung melalui komitmen bersama “education for all” atau pendidikan untuk semua. Prinsip ini mencerminkan bahwa akses pendidikan bagi masyarakat diberikan seluas-luasnya tanpa memandang kemampuan sosiologis dan ekonomis suatu individu sehingga pencapaian peningkatan kualitas hidup seseorang dapat dicapai dengan baik. Ironisnya, pemerintah dalam kebijakan pendidikan saat ini justru kurang berpihak pada keadaan ekonomi masyarakat. Pendidikan dijadikan sebagai dunia usaha, bukan menjadi institusi masyarakat. Alhasil, parameter benefit daripada kebijakan ini menjadikan banyaknya anak putus sekolah dan terjadinya pengangguran dan kemiskinan yang semakin meningkat. Kebijakan bidang pendidikan yang kurang optimal dalam pendidikan juga terlihat pada kebijakan pemerintah melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagai kompensasi dari subsidi BBM. Lagi-lagi implementasi strategis ini bukan mejadi senjata pamungkas dalam memperingan beban masyarakat ekonomi lemah akan tetapi sasaranya justru dinikmati mereka dari kalangan ekonomi mampu.

United Nation Development Program tahun 2005, yang menyatakan bahwa indeks pembangunan manusia Indonesia menempati urutan 110 dari 117 negara. Salah satu dimensi dasar pembangunan manusia tersebut, ditinjau dari aspek “pendidikan yang diukur dengan tingkat baca tulis”. Data Susenas 2004 menunjukkan bahwa angka buta aksara penduduk berusia tua ternyata lebih tinggi dibanding penduduk usia muda, sedangkan angka buta aksara penduduk usia muda lebih banyak ditemukan di pedesaan (15,5 : 12,8), sebaliknya angka buta aksara penduduk usia tua lebih banyak di perkotaan (39,1 : 30,4).

Kemampuan keaksaraan ditentukan oleh tingkat pendidikan sehingga mayoritas (84,3%) tidak/belum pernah sekolah dan sisanya pernah bersekolah maksimal sampai kelas IV SD/MI. Artinya, ada anak yang sudah pernah sekolah tetapi tidak bisa membaca. Kemungkinannya adalah: (1) pada dasarnya mereka belum bisa membaca; atau (2) mereka menjadi buta huruf kembali (rellapsed illiteracy) setelah tidak sekolah.

Kondisi di atas menunjukkan, bahwa kemampuan membaca dan menulis membutuhkan latihan dan pembinaan terus menerus. Selain itu, pada umumnya anak-anak yang putus sekolah di kelas-kelas awal SD/MI berasal dari keluarga miskin. Setelah keluar dari sistem persekolahan, mereka tidak bersentuhan lagi dengan buku bacaan sehingga kemampuan membaca yang memang belum stabil menjadi hilang. Di sinilah perlunya peran perpustakaan dalam fasilitasi interaksi pengetahuan dan stimulasi untuk mempertahankan kemampuan membaca melalui ketersediaan bahan bacaan yang dapat diakses dengan mudah dan murah disamping fungsi pelestari nilai-nilai sosial atau budaya masyarakat yang merupakan komponen karya intelektual lokal.

Inisiasi Pembangunan Perpustakaan:
”Slogan Keberpihakan Masyarakat”

Pentingnya peranan perpustakaan dalam membangun masyarakat juga menjadi agenda global melalui kesepakatan dunia World Summit of Information Society (WSIS) yaitu membangun masyarakat informasi berbasis aplikasi teknologi informasi dan telekomunikasi atau disingkat TIK untuk pencapaian Millenium Development Goals (MDG’s). Lebih lanjut dalam kesepakatan itu menjelaskan untuk membangun masyarakat informasi yang inklusif, berpusat pada manusia dan berorientasi secara khusus pada pembangunan, di mana setiap orang dapat mencipta, mengakses, menggunakan, dan berbagi informasi serta pengetahuan, hingga memungkinkan setiap individu, komunitas dan masyarakat luas menggunakan seluruh potensi mereka untuk pembangunan berkelanjutan yang bertujuan pada peningkatan mutu hidup. Deklarasi WSIS menyatakan potensi perpustakaan dalam menyediakan akses layanan informasi berbasis TIK bagi masyarakat. Informasi publik harus mudah diakses dan dijaga kesahihannya dalam rangka pembangunan masyarakat informasi. Hambatan akses informasi untuk kegiatan ekonomi, sosial, politik, kesehatan, budaya, pendidikan, dan ilmu pengetahuan harus dihilangkah untuk meningkatkan proses saling berbagi dan menguatkan pengetahuan global guna pembangunan

Jika ini terjadi, bagaimana dengan kesiapan Indonesia? Kondisi perpustakaan, pada umumnya masih belum merata keberadaannya. Sebagi contoh, perpustakaan sekolah sebagai integral proses pendidikan baru berjumlah 12.273 sekolah yang memiliki perpustakaan dari jumlah 213.815 sekolah atau sekitar 5,75% (Diknas: NPS,2005), sedangkan perpustakaan desa yang merupakan ’domain public’ baru berjumlah 781 yang memiliki perpustakaan atau 1.13% dari jumlah 68.816 desa yang ada. Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa fokus pengembangan perpustakaan masih pada taraf segmen komunitas perkotaan. Sedangkan masyarakat yang tinggal di pedesaan, daerah tertinggal masih belum terjangkau oleh layanan perpustakaan sama sekali.

Jika kita melihat kebelakang, pemerintah sesungguhnya telah meletakkan dasar yang bagus pada pembangunan perpustakaan masyarakat di tanah air sejak tahun 1953 silam. Ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 7870/Kab. Jakarta 5 Maret 1953 dan Kepala Jawatan Pendidikan Masyarakat Kementrian P.P. Dan K. Nomor 10244/Kab. Jakarta 26 November 1953 tentang Peraturan Perpustakaan Rakyat. Dalam Keputusan ini dijelaskan bahwa Perpustakaan rakyat adalah perpustakaan untuk bacaan masyarakat umum yang bertujuan; (1) menghidupkan dan memelihara minat dan hasrat rakyat Indonesia untuk membaca dan belajar sendiri; (2) mempertinggi dan memperluas pengetahuan kecerdasan dan kesadaran rakyat, dan (3) mempertinggi dan memperluas akhlak rakyat. Pada pasal 4 menjelaskan Perpustakaan Rakyat diadakan di ibukota Provinsi/Kabupaten/Kecamatan dan Kota-Kota/tempat lain. Upaya menumbuh kembangkan perpustakaan desa/kelurah dalam upaya pencerdasan bangsa juga diperkuat dengan dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tentang Perpustakaan Desa/Kelurahan. Sesungguhnya negeri ini telah banyak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan dalam pertumbuhan perpustakaan di negeri ini.

Tidak kalah menarik juga sejak diberlakukannya desentralisasi dan otonomi daerah. Inkonsepsi tentang pembentukan lembaga perpustakaan di provinsi menjadi permasalahan pokok setelah diserahkannya Perpustakaan Nasional Provinsi sebagai perangkat daerah 1 Januari 2001. Otoritas daerah tidak sadar betul bahwa penyelenggaraan pemerintah di bidang perpustakaan tidak dipandang sebagai sektor yang tidak strategis dalam mencerdaskan bangsa. Sehingga menimbulkan inkonsistensi kelembagaan di daerah, dengan hasil 25 eks Perpustakaan Nasional Provinsi diurai menjadi 6 daerah digabung dengan Arsip, 1 Kantor dan 2 UPTD sisanya tetap menjadi Badan Perpustakaan. Salah satu fenomena ini membangun inisiasi pemerintah untuk melahirkan sebuah UU tentang Perpustakaan di negeri ini, agar adanya jaminan akses masyarakat pada perpustakaan sebagai institusi publik yang harus ada di starata masyarakat. Bukan hanya itu saja, upaya pemerintah dalam menjamin akses terhadap perpustakaan juga tertuang dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembangian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Perpustakaan menjadi urusan wajib (psl 6). Artinya, perpustakaan menjadi pelayanan dasar bagi masyarakat yang merupakan urusan pemerintah yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.

Niat baik pemerintah mendorong perpustakaan salah satu instrumen dalam mewujudkan adanya jaminan belajar sepanjang hayat sebagai instrumen strategis dalam transpormasi pengetahuan, dibuktikan dengan inisiasi Presiden Republik Indonesia terhadap pentingnya perpustakaan dalam mewujudkan budaya baca masyarakat serta menjaga kesinambunga melek huruf di kalangan masyarakat yang sudah tidak bersekolah, melalui; (1) pencanangan Hari Aksara dan Kunjung Perpustakaan serta Bulan Gemar Membaca, tanggal 14 September 1995 oleh Presiden RI H.M. Soeharto, di Banjarmasin; (2) pencanagan Gerakan Membaca Nasional, tanggal 12 November 2003, oleh Presiden RI Megawati Soekarno Putri, di Istana Negara, dan (3) pencanangan Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat, di Jakarta tanggal 17 Mei 2006 oleh Presiden RI, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono.

Apa Sesungguhnya Menjadi Masalah?

Upaya peningkatan akses masyarakat terhadap perpustakaan di Indonesia secara legalitas formal telah menunjukkan kemauan yang baik. Ini dibuktikan dengan kebijakan/regulasi perpustakaan oleh pemerintah yang telah dimulai sejak tahun 50 an. Mengingat kebijakan pembangunan perpustakaan telah cukup lama, tentu kemerdekaan masyarakat terhadap akses perpustakaan tidak lagi menjadi pertanyaan besar di negeri ini. Paling tidak perpustakaan telah menjadi instrumen strategis sebagai agen perubahan sosial yang dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup bangsa. Berhubungan dengan permasalahan di atas, ada berbagai pemikiran penulis yang menjadi permasalahan pembangunan bidang perpustakaan tidak berkembang:

Pertama, kebijakan pembanguan perpustakaan oleh pemerintah hanya pada sebatas wacana atau kata lain “di atas kertas”. Artinya, keberpihakan pemerintah sesungguhnya hanya pada tataran “perpustakaan itu penting”. Namun, tidak memiliki konsep yang jelas dalam upaya membanguan perpustakaan sebagai integral pendidikan sepanjang hayat. Ini terlihat dari implementasi strategis pemerintah belum mampu melakukan rencana tindak yang dituangkan dalam dokumen perencana pembangunan nasional baik pada dokumen rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menegah sebagai program prioritas maupun fokus-fokus kegiatan pembangunan.

Kedua, konsep perencanaan pembangunan di bidang perpustakaan belum berfokus pada pengembangan masyarakat pedesaan. Idealnya, pengembangan perpustakaan harus berorientasi pada pembangunan dan penguatan komunitas masyarakat pedesaan. Artinya, perpustakaan desa dan sekolah harus menjadi pembangunan prioritas. Dalam mendukung pemikiran ini, tentu perlu merubah paradigma berfikir terbalik ‘button up’ pembangunan dari akar rumput yaitu berfokus pada penguatan ekonomi atau ketahan masyarakat melalui pengembangan budaya baca melalui perpustakaan desa. Pembangunan perpustakaan dan penyebarluasan buku-buku bacaan berbasis masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena penyebaran masyarakat Indonesia berada di pedesaan atau 60% menempati kecamatan dan pedesaan. Salah satu kendala pengembangan perpustakaan desa ini adalah keterbatasan alokasi APBN untuk pembangunan bidang perpustakaan yang belum optimal. Bandingkan, APBN Perpustakaan Nasional tahun 2006 hanya sebesar Rp. 200 milyar. Namun, yang patut dibanggakan adalah upaya Perpustakaan Nasional dalam penguatan pembangunan pedesaan melalui perpustakaan dilakukan melalui diversifikasi layanan perpustakaan melalui Mobil Perpustakaan Keliling (MPK) dan desiminasi buku bacaan ke daerah tertinggal, daerah pascabencana dan konflik serta daerah perbatasan.

Ketiga, para ahli pepustakaan atau akademis membangun paradigma berfokus pada aksesibilitas layanan perpustakaan terhadap penerapan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Trend perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadi isu strategis dan menjadi indikator dan/atau barometer kemajuan pencapaian layanan perpustakaan di masyarakat. Kerangka berfikir semacam ini menimbulkan upaya percepatan pembangunan perpustakaan hanya pada komunitas tertentu atau pada kalangan civitas akademika atau komunitas masyarakat yang userfriendly terhadap TIK padahal kita lupa bahwa basis masyarakat yang paling dominan di pedesaan adalah masyarakat “gatek” atau masyarakat yang tidak mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Keempat, perumusan pengembangan layanan perpustakaan bersifat sektoral. Artinya, kemitraan pengembangan perpustakaan pada lintas instansi teknis masih belum optimal. Akselerasi pencapaian perpustakaan masih dilakukan oleh pemerintah saja. Aliansi kerjasama dengan masyarakat dan dunia usaha belum berjalan dengan baik sebagai mitra kerja. Sehingga pembiayaan perpustakaan sebagian besar masih mengandalkan atau bergantung pada kemampuan APBN/APBD yang sangat terbatas. Upaya lain yang belum dilakukan adalah menggali dana-dana peruntukan publik yang ada pada sektor swasta belum dapat disinerjikan dengan APBN dalam pembiayaan pengembangan perpustakaan masyarakat. Disamping itu, pengelolaan perpustakaan yang sudah berjalan didominasi oleh pustakawan. Idealnya, pengelolaan perpustakaan sebaiknya lintas interdispliner dan bukan hanya dikembangkan oleh pustakawan, namun tetap dibutuhkan kemitraan dengan berbagai profesi lain seperti; arsitektur, disain interior, pemasaran, psikologi, dll. Hal ini dibutuhkan agar layanan yang diberikan memiliki daya jual sehingga lebih diterima masyarakat atau pemakai perpustakaan. Sebagai contoh, beberapa perpustakaan yang ada berjalan dan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, namun kurang diberdayakan masyarakat dikarenakan kurang dapat memberikan daya tarik terhadap pemakai.

Kelima, penyebaran SDM bidang perpustakaan tidak merata bahkan terpusat pada wilayah tertentu seperti Jawa dan Sumatera. Disamping itu, rasio pustakawan yang telah mendapat pengakuan dari pemerintah jumlahnya masih kecil. Saat ini, pustakawan baru berjumlah 2.931 orang. Sedangkan pengelola perpustakaan yang sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan perpustakaan baru mencapai 24% atau 6.900 orang dan yang belum pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan perpustakaan mencapai 76% atau 21.064 orang (Pusdiklat Perusnas, 2006). Jadi, jika hanya 2.931 orong pustakawan di republik ini, berarti rasio pustakawan dengan jumlah penduduk Indonesia ± 210 juta jiwa adalah 1 : 71.648. Artinya 1 orang pustakawan melayani penduduk sebanyak 71.648 orang.

Membangun Perpustakaan Berbasis ”Gotong Royong”

Ketika negara Jepang dilanda gempa pada tahun 1995 yang disebut dengan Gempa Kobe yang meluluh lantakkan pemukiman masyarakat, pada saat itu pemerintah Jepang tidak mampu sendirian untuk merekonstruksi kembali rumah dan fasilitas penduduk yang hancur. Percepatan pemulihan adalah dikarenakan masyarakat setempat berpartisipasi dalam mengkonstruksi kembali pemukiman mereka melalui semangat kebangkitan ‘Machizukuri’. Pengalaman ini, membuat pemerintah Jepang mereposisi konsep pembangunan mereka melibatkan masyarakat atau disebut Partisipasi Masyarakat. Konsep ini menawarkan bahwa masyarakat bukan hanya Obyek pembangunan akan tetapi juga sebagai Subyek pembangunan yang disebut Pembangunan Partisipatif.

Sesungguhnya, masyarakat Indonesia telah mengenal sejak dulu “partisipasi” atau gotong royong sebagai modal sosial masyarakat. Contoh, di masyarakat Batak disebut “Marsiadapari” ketika masyarakat Batak membangun rumah dan menggarap sawah semua ikut serta saling bahu-membahu atau masyarakat Minang dengan “Gebu Minang” (Gerakan Seribu Minang)”. Namun, belakangan ini kearifan lokal ini tidak lagi dimiliki oleh bangsa ini.

Dalam konteks ini, bahwa partisipasi masyarakat mutlak diperlukan dalam segala aspek pembangunan termasuk dalam pembangunan perpustakaan. Akselerasi pencapaian pembangunan perpustakaan harus dilakukan secara gotong royong antara Pemerintah, Masyarakat dan Dunia Usaha agar kesinambungannya berjalan dengan baik sebagai institusi masyarakat. Dalam koneks luas, sebagaimana otonomi daerah sekarang ini, akselerasi pencapaian pembangunan perpustakaan diperlukan konsep gotong royong dilakukan dengan keterpaduan perencanaan melalui aliansi sinergi program lintas kementerian/lembaga pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota serta keterlibatan masyarakat. Hal ini dimungkinkan, adanya pendelegasian kewenangan atau pembangian tugas antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota yang menjadi kewengangan masing-masing sebagaimana digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada level pemerintahan, konsep aliansi sinergi program perpustakaan ini dapat dilakukan Departemen Pendidikan Nasional, Perpustakaan Nasional, Departemen Dalam Negeri, Departemen Agama. Kemungkinan ini dapat dilakukan, seperti contoh alokasi APBN bidang pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 sebesar 20% dengan pengalokaian terbesar adalah Depdiknas perlu dilakukan sinergi program dengan Perpustakaan Nasional yang alokasi anggarannya masih relatif kecil, namun sasaran tugas pokok dan fungsinya meliputi seluruh wilayah tanah air. Pada keempat Kementerian/Lembaga ini masing-masing memiliki program pengembangan perpustakaan masyarakat.

Keterlibatan masyarakat dapat berupa fungsi kontrol ataupun dapat berperan langsung melalui pemberian lahan atau sejenisnya agar kesinambungan layanan perpustakaan dapat terjamin. Atau, masyarakat juga langsung berperan membangun perpustakaan dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah, seperti yang telah dilaksanakan berbagai lembaga masyarakat yang memiliki perhatian besar terhadap pengembangan perpustakaan dan budaya baca, seperti Yayasan Membaca Indonesia, Coca-Cola Foudation, SIKIB, dll. Sedangkan partisipasi dunia usaha, dapat mendorong pembangunan perpustakaan melalui pemberian dana segar yaitu dana-dana yang diperuntukkan sebagai dana pengembangan masyarakat. Dunia usaha yang berkaitan langsung dengan pengembangan perpustakaan dapat berupa penerbit, toko buku, industri teknologi informasi, pengarang/penulis atau dunia usaha lainnya yang juga perlu dilibatkan dalam pembangunan perpustakaan masyarakat. Konsep aliansi ini juga diperlukan pada tataran daerah yaitu Dinas Pendidikan Provinsi bersinergi program dengan Badan/Kantor/UPTD Perpustakaan Provinsi, atau Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota serta dunia usaha lainnya yang ada di wilayah masing-masing. ***)

Senin, 02 Februari 2009

Abel Lagi Makan (Anak Pertama)


Merajut Kemiskinan Rakyat dengan Nurani Kebangsaan

Oleh, Adin Bondar *)

“Ibu, Ibu...! aku lapar”, dengan suara pelan keluar dari mulut Dian Susanto (13) seorang anak kecil yang dipangku ibunya, tubuh yang kurus kering terkapar tidak berdaya. Tiga hari lamanya warga kelurahan Karang Joang, Kota Balikpapan ini nyaris tidak makan, karena kemiskinan.
Masalah yang sama Aldino (5), balita gizi buruk asal Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang tubuhnya tinggal kulit pembungkus tulang. Lebih pedih lagi, Albagir (2) anak batita asal Kota Palembang yang harus meninggalkan dunia fana (25/3) di Rumah Sakit M. Hoesin karena gizi buruk, dan bahkan banyak lagi anak-anak negeri ini yang mengalami nasib yang sama.
Melihat fenomena yang dialami masyarakat timbul pertanyaan, ”Mengapa di negeri yang penuh sumber daya alam ini masih banyak masyarakat miskin?” Ironis, rakyat kelaparan di lumbung padi, rakyat kehausan dialiran sungai yang jernih, masyarakat miskin moral dalam negara yang agamis dan berbudaya.
Kebijakan yang tidak berpihak
Seabad bangsa Indonesia memerangi kemiskinan. Namum, masyarakat miskin semakin banyak, gizi buruk dan kelaparan, pengemis jalanan ada dimana mana. Kemiskinan masyarakat bukan hanya kemiskinan ekonomi tapi juga kemiskinan moralitas. Seperti, tauran, narkoba, seks bebas, korupsi di kalangan akar rumput dan elit politik.
Upaya pemerintah dalam menangani kemiskinan rakyat sudah dilakukan sejak bangsa Indonesia merdeka. Namun, belum menunjukkan perbaikan yang nyata. Data menunjukkan bahwa masyarakat miskin masih cukup signifikan ± 45 juta jiwa atau 19.1 juta keluarga miskin (Kompas, 23 Mei 2008).
Jika tahun 1986 bangsa Indonesia mampu menjadi macan Asia di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Bahkan pencapaian pembangunan cukup pantastik dan diakui oleh dunia internasional sebagai negara yang berhasil dalam swasembada pangan. Pemerintah mendapat penghargaan dari PBB yang membidangi urusan pangan FAO. Tidak hanya itu, pembangunan sektor lainnya tergolong baik seperti pertumbuhan ekonomi dan kesehatan masyarakat. Namun, pencapaian ini tidak lama bertahan seiring dengan merebaknya demoralisasi pengelolaan negara; budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang meluluh lantakkan sendi-sendi ideologi, politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.
Menurut penulis faktor penyebab utama kemiskinan adalah: pertama, kebijakan pembangunan yang kurang utuh dan komprehensif dalam membangun kehidupan masyarakat. Pencapaian pembangunan berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Konsep pertumbuhan ekonomi menjadikan fokus pencapaian pemerintah melalui pendekatan cost-profit bukan cost-benefit. Artinya, pencapaian pemerintah dalam pembangunan titik ungkit pada investasi pembangunan melalui kontribusi finansial sehingga struktur budaya dan moral melemah. Akibatnya, korupsi dan individualisme terbangun terstruktur, sedangkan karakter bangsa yang sarat dengan tepo saliro dan gotong royong terasimilasi dengan budaya kapitalisme.
Contoh, pemberian ijin kepada investor dalam mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia dengan memberikan ijin seluas-luasnya sehingga menghancurkan tatanan budaya dan sosial serta kearifan lokal setempat, PT. Free Fort di Papua, PT. Indorayon di Sumatera Utara, dll. Penanganan bencana semburan lumpur dari lapangan gas milik Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo Jawa Timur, kebijakan pemerintah mendua hati dan tidak berpihak terhadap masyarakat mengakibatkan banyak jatuh miskin.
Kesalahan kebijakan juga terlihat pada target prioritas pembangunan yang selalu menitik beratkan pertumuhan ekonomi melalui eksploitasi industrialisasi. Kemandirian rakyat dan ketahanan sosial hampir tidak tertangani dengan baik sehingga modal sosial (social capital) hancur, termasuk lahan pertanian dan lingkungan beralih fungsi. Kedua, lemahnya nurani kebangsaan Indonesia. Artinya, disinternalisasi filosopi dasar negara yaitu Pancasila sebagai visi bangsa Indonesia. Negara yang dibangun oleh founding father yang disebut dengan lima dasar dalam Pancasila, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan tidak menjadi visi pembangunan Indonesia. Kegagalan ini, mengakibatkan kemiskinan terbuka yaitu kemisikinan ekonomi dan moral di masyarakat maupun penyelenggara negara.
Nurani kebangsaan
Penanganan kemiskinan di Indonesia dapat dijawab dengan revitalisasi nurani kebangsaan. Nurani kebangsaan dimaksud adalah Ketuhanan-Kemanusiaan-Persatuan-Kerakyatan-Keadilan. Penguatan nilai-nilai luhur Pancasila ini dijadikan budaya dan karakter bangsa dan menjadikannya komitmen kolektif masyarakat dan pemerintah yang dituangkan dalam visi dan misi Indonesia. Rencana aksi revitalisasi nurani kebangsaan ini dapat diimplementasikan melalui:
Pertama, ketuhanan; pemerintah perlu kembali menanamkan nilai-nilai agama dalam pencapaian pembangunan nasional. Rencana aksi yang dikembangkan adalah kebebasan pemeluk agama dalam menanamkan keyakinannya melalui penyediaan fasilitas ibadah, jaminan kebebasan beragama dan penajaman kembali kurikulum agama di lingkungan pendidikan anak usia dini (PAUD), SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi dan pendidikan dan pelatihan penyelenggara negara. Bertujuan untuk membangun moralitas masyarakat secara komprehensif sehingga budaya korupsi dan demoralisasi terkikis dari bumi Indonesia
Kedua, kemanusiaan; membangun perlindungan dan ketahanan sosial masyarakat. Rencana aksi yang dikembangkan adalah memberikan jaminan terhadap masyarakat yang kurang mampu ekonomi dalam eksplorasi potensi mereka baik dalam aspek pendidikan, kesehatan dan pekerjaan. Jaminan kebutuhan dasar berupa pendidikan gratis, pekerjaan, rasa aman serta jaminan kesehatan melalui penyebaran tenaga para medis dengan sasaran target keluarga miskin. Program ini bertujuan menciptakan masyarakat miskin menjadi manusia yang produktif, kreatif dan inovatif.
Ketiga, persatuan; membangun sistem ketahanan negara melalui jaminan keseimbangan dan kesinambungan pembangunan lintas wilayah provinsi dan kabupaten/kota serta pemberdayaan masyarakat di wilayah perbatasan, terisolir dan terbelakang. Pemerintah bertindak tegas munculnya kelompok sparatis maupun kelompok kekerasan yang mengatas namakan suku, agama dan ras. Membangun sebuah tatanan baru yang berbasis nasionalisme, menyatupadukan kekuatan budaya lokal menjadi simbol budaya nasional serta melestarikannya secara utuh.
Keempat, kerakyatan; membangun politik nasional dengan basis akar rumput ”dari rakyat dan untuk rakyat” serta demokratisasi yang beretika. Termasuk, keterwakilan tokoh masyarakat dan tokoh budaya dalam kancah politik sebagai tokoh sentral dalam misi pembangunan ketahanan budaya. Konsep ekonomi kerakyatan sebagai prioritas pembangunan dengan membangun pertanian dan kehutanan, perikanan dan kelatuan dengan teknologi tepat guna sebagai potensi terbesar alam Indonesia, menumbuh kembangkan industri rumah tangga dengan jaminan dana melalui pemberian kredit mikro.
Kelima, keadilan; membatasi eksploitasi sumber daya alam oleh perorangan dan korporasi. Eksploitasi bumi Indonesia oleh pengusaha diwajibkan memberikan dana sosial 15% dari pendapatan dalam membangun fungsi sosial, budaya dan pendidikan masyarakat setempat. Penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan bagi setiap masyarakat tanpa memandang buluh dan fokus pada tindak pidana korupsi dan ilegal loging serta penyelenggaraan negara yang transparan dan akuntabel, memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat dalam berusaha, berkreasi, dan berkarya, serta jaminan pengalokasian APBN/APBD dengan rasio 30% untuk aparatur dan 70% kepentingan publik secara konsisten dan taat asas. Mari kita bangun bangsa ini dengan hati nurani kebangsaan. Merdeka!
*) Adin Bondar, adalah pemerhati sosial dan simpatisan Partai Hanura, berdomisili di Jakarta)

Pembangunan Perpustakaan di Indonesia

PENDAHULUAN

Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dan dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tujuan pembangunan nasional adalah komitmen seluruh masyarakat. Pencapaianya perlu ditangan secara utuh dan komprehensif baik di tingkat pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Perpustakaan dalam peningkatan kualitas manusia Indonesia memiliki peranan yang cukup strategis. Peranan perpustakaan tersebut diperkuat dengan core business perpustakaan itu sendiri dengan fokus pada pengumpulan, pengelolaan, pelestarian dan penyebarluasan informasi dan ilmu pengetahuan yang demokratis dengan tujuan membentuk dan membangun masyarakat yang berbudaya ilmiah, inovatif dan kreatif.
Perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat juga dipertegas dalam fungsi dan peranannya sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 43/2007 tentang Perpustakaan pada Bab I pasal (1), yaitu perpustakaan adalah institusi pengelola karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka atau masyarakat.
Sebagai perwujudan dari amanah Undang-undang perpustakaan di atas, cukup jelas bahwa lembaga perpustakaan harus dikelola secara profesional sesuai dengan standar nasional perpustakaan, termasuk diantaranya adalah PUSTAKAWAN sebagai profesi yang memiliki tugas dan tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan sebagaimana telah dilegalisasi juga peranannya sebagai Jabatan Fungsional Pustakawan melalui Kepmenpan No. 33 tahun 1998 dan No. 132/KEP/M.PAN/12/2002.
Melalui pelimpahan urusan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai implementatif dari sistem desentralisasi dan otonomi daerah melalui UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, maka secara otomatis masalah urusan penyelenggaraan perpustakaan telah menjadi urusan wajib pemerintah daerah yang bersangkutan.

HAK MASYARAKAT, KEWAJIBAN DAN WEWENANGAN PEMERINTAH DI BIDANG PERPUSTAKAAN

A. Hak Masyarakat
Penyelenggaran perpustakaan merupakan urusan wajib pemerintah sebagai kebutuhan dasar yang harus diberikan kepada kepada masyarakat. Pada Bab II bagian kesatu pasal 5, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan menjelaskan bahwa hak masyarakat terhadap layanan perpustakaan, sebagai berikut:
1. Ayat (1) masyarakat mempunyai hak yang sama untuk: (a) memperoleh layanan serta memanfaatkan dan mendayagunakan fasilitas perpustakaan; (b) mengusulkan keanggotaan Dewan Pepustakaan; (c) mendirikan dan/atau menyelenggarakan perpustakaan; (d) berperan serta dalam pengawasan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perpustakaan.
2. Ayat (2) masyarakat di daerah terpencil, terisolasi atau terbelakang sebagai akibat faktor geografis berhak memperoleh layanan perpustakaan secara khusus.
3. Ayat (3) masyarakat yang memiliki cacat dan/atau kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh layanan perpustakaan yang disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan masing-masing.

B. Kewajiban Pemerintah
1. mengembangkan sistem nasional perpustakaan sebagai upaya mendukung sistem pendidikan nasional;
2. menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat;
3. menjamin ketersediaan layanan perpustakaan secara merata di tanah air;
4. menjamin ketersediaan keragaman koleksi perpustakaan melalui terjemahan (translasi), alih aksara (transliterasi), alih suara ke tulisan (transkripsi), dan alih media (transmedia);
5. menggalakkan promosi gemar membaca dan memanfaatkan perpustakaan;
6. meningkatkan kualitas dan kuantitas koleksi perpustakaan;
7. membina dan mengembangkan kompetensi, profesionalitas pustakawan, dan tenaga teknis perpustakaan;
8. mengembangkan Perpustakaan Nasioanal; dan
9. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang menyimpan, merawat dan melestarikan naskah kuno.

C. Kewajiban Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
1. menjamin penyelenggaraan dan pengembangan perpustakaan di daerah;
2. menjamin ketersediaan layanan perpustakaan secara merata di wilayah masing-masing;
3. menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat;
4. menggalakkan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan perpustakaan;
5. menfasilitasi penyelenggaraan perpustakaan di daerah; dan
6. menyelenggarakan dan mengembangkan perpustakaan umum daerah berdasar kekhasan daerah sebagai pusat penelitian dan rujukan tentang kekayaan budaya daerah di wilayahnya.
D. Wewenang Pemerintah
1. menetapkan kebijakan nasional dalam pembinaan dan pengembangan semua jenis perpustakaan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. mengatur, mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
3. mengalih mediakan naskah kuno yang dimiliki oleh masyarakat untuk dilestarikan dan didayagunakan.

E. Wewenang Pemerintah Daerah
1. menetapkan kebijakan daerah dalam pembinaan dan pengembangan perpustakaan di wilayah masing-masing;
2. mengatur, mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan di wilayah masing-masing; dan
3. mengalihmediakan naskah kuno yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah masing-masing untuk dilestarikan dan didayagunakan.

JENIS-JENIS PERPUSTAKAAN YANG DIKEMBANGKAN
Pembinaan dan pengembangan perpustakaan di seluruh wilayah tanah air terakomodasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009, bahwa pencapaian pembangunan di bidang perpustakaan akan dicapai melalui langkah strategis program nasional yaitu Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan. Pencapaian program ini tentu bukan hanya menjadi tanggungjawab Perpustakaan Nasional RI sebagai pemerintah akan tetapi juga menjadi tanggungjawab Badan/Kantor Perpustakaan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai satu kesatuan sistem pembangunan nasional.
Berdasarkan Undang-undang perpustakaan, jenis-jenis perpustakaan yang harus dibina dan dikembangkan disemua strata masyarakat, antara lain:
1. Perpustakaan Nasional. Merupkan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang melaksanakan tugas pemerintah dalam bidang perpustakaan dan berkedudukan di ibu kota negara.
2. Perpustakaan Umum. Diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, dan desa, serta dapat diselenggarakan oleh masyarakat.
3. Perpustakaan Sekolah/Madrasah. Setiap sekolah/madrasah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan.
4. Perpustakaan Perguruan Tinggi. Menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan.
5. Perpustakaan Khusus. Memberikan layanan kepada pemustaka di lingkungannya dan secara terbatas memberikan layanan kepada pemustaka di luar lingkungannya.
Berdasarkan data Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Pengkajian Minat Baca, Perpustakaan Nasional RI tahun 2008, keberadaan dan perkembangan perpustakaan masih belum optimal. Disisi lain, kondisi perpustakaan yang sudah memberikan layanan juga belum ditangani dan dikelola secara profesional baik dari segi koleksi, sarana dan prasarana maupun sumberdaya manusia perpustakaan sebagai pengelola perpustakaan.
Secara umum keberadaan semua jenis perpustakaan masih tergolong terbatas dan baru mencapai 5%, yang terdiri dari: perpustakaan sekolah baru mencapai 71.716 dari 174.256 sekolah (41%), perpustakaan MI sebanyak 6.716 dari 23.164 sekolah (28%), perpustakaan SMP sebanyak 19.752 dari 42.440 sekolah (47%), perpustakaan SMA sebanyak 12.062 dari 23.577 sekolah (51%), perpustakaan MTs sebanyak 5.634 dari 11.706 sekolah (48%), perpustakaan MA sebanyak 2.719 dari 17.792 sekolah (15%), perpustakaan perguruan tinggi 2.428 dari 2.773 perguruan tinggi (88%), perpustakaan desa/kelurahan sebanyak 781 dari 69.919 desa/kelurahan (1%), perpustakaan umum kabupaten/kota sebanyak 250 dari 440 kabupaten/kota (57%) dan perpustakaan provinsi sebanyak 31 dari 33 provinsi (94%).

BAGAIMANA KONDISI PUSTAKAWAN DI INDONESIA ?

Pustakawan sebagai profesi terdepan dalam mengemban fungsi perwujudan masyarakat informasi dan berbudaya ilmiah memerlukan kualitas dan kuantitas agar tercapai keselarasan antara permintaan dan layanan perpustakaan. Secara umum Kualitas dan kuantitas tenaga perpustakaan di seluruh jenis perpustakaan di Indonesia belum proporsional dan memadai.
Dari 27.964 orang tenaga perpustakaan yang berstatus pustakawan sebanyak 2.963 orang. Kompetensi dalam bidang perpustakaan relatif rendah, yaitu 24% atau 6.900 orang sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan bidang perpustakaan. Sejumlah 76% atau 21.041 orang belum pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan bidang perpustakaan.
kuantitas pustakawan di Indonesia masih belum representatif apabila dibanding dengan jumlah penduduk ± 210 juta dan luas wilayah ± 19 juta m2. Rasio pustakawan dengan jumlah penduduk baru mencapai 1 : 70.874. Artinya, dengan 1 (satu) orang sumber daya manusia (pustakawan) melayani 70.874 orang masyarakat.
Permasalahan yang lain, berdasarkan latar belakang pendidikan dari 2.963 pustakawan yang tersebar diseluruh jenis perpustakaan baru 1.402 orang pejabat fungsional pustakawan yang berpendidikan formal ilmu perpustakaan.
Masih belum optimalnya kualitas dan kuantitas pustakawan serta ketidak populeran frofesi pustakawan di masyarakat diakibatkan faktor-faktor yang saling berhubungan, sebagai berikut:
1. Masih rendahnya minat generasi muda menggeluti ilmu perpustakaan di perguruan tinggi;
2. Ketergantungan pustakawan pada birokrat;
3. Kurangnya percaya diri pada pustakawan;
4. Perkembangan teknololi informasi dan komunikasi masih belum diimbangi dengan peningkatan kemampuan pustakawan;
5. Belum maksimalnya kerjasama dengan lembaga terkait
6. Minimnya apresiasi terhadap profesi pustakawan termasuk pada tingkat otoritas daerah maupun masyarakat
7. Belum memadainya tunjangan jabatan fungsional pustakawan
8. Kurangnya penghargaan terhadap pustakawan di kalangan pendidik dan peneliti

PERANAN PERPUSTAKAAN DAERAH DALAM PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN PUSTAKAWAN
Tidak ada satupun perpustakaan di dunia ini dapat berhasil jika tidak didukung oleh sumber daya manusia yang profesional dibidangnya. Sebagai salah satu aspek terpenting menjalankan roda kelembagaan perpustakaan, Pustakawan perlu dibina dan dikembangkan terus menerus kearah profesional yang memiliki kompetensi baik dalam penguasaan ilmu pengetehauan dan teknologi maupun kemampuan lainnya yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi pustakawan itu sendiri melalui jalur pendidikan formal dan pendidikan dan pelatihan teknis.
Berdasarkan UU No. 43/2007 pasal 33 menjelaskan bahwa; (1) pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan tenaga perpustakaan merupakan tangungjawab penyelenggara perpustakaan; (2) pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan formal dan/atau non formal; (3) pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui kerjasama Perpustakaan Nasional, perpustakaan umum provinsi, dan/atau perpustakaan umum kabupaten/kota dengan organisasi profesi, atau dengan lembaga pendidikan dan pelatihan.
Berdasarkan penjelasan di atas, upaya pembinaan dan pengembangan pustakawan menjadi kewenangan dan urusan masing-masing daerah. Karena itu, Badan/Kantor Perpustakaan Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu memberikan grand design pengembangan pustakawan di daerah masing-masing sehingga kekurang dan kelemahan pustakawan di daerah masing-masing dapat tertangani dengan proporsional.
Peranan pemerintah daerah dalam pembinaan dan pengembangan kualitas pustakawan sangat strategis dalam menanggulangi krisis pustakawan di negeri ini. Upaya-upaya yang dapat ditempuh adalah:
1. Peningkatan jumlah (kuantitas) Pustakawan
Kebijakan daerah terhadap formasi Pustakawaan di daerah masing-masing melalui Peraturan Daerah atau persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota. Secara teknis, penambahan jumlah pustakawan dapat juga dilakukan dengan kerjasama antara pemerintah daerah dengan perguruan tinggi yang mengelola program studi ilmu perpustakaan dengan memberikan beasiswa kepada siswa SLTA dan Pegawai yang berprestasi dan berminat untuk diangkat jadi pustakawan.
2. Peningkatan mutu (kualitas) Pustakawan
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, kondisi pustakawan Indonesia masih kondisi yang belum optimal khususnya dalam mutu atau kualitas. Oleh karena itu, pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dipandang perlu melakukan pembinaan dan pengembangan mutu pustakawan melalu peningkatan kompetensi dan profesionalitas pustakawan sebagai sumber daya perpustakaan. Peningkatan kompetensi dan profesionalitas ini dapat dilakukan dengan:
A. Pendidikan Formal. Kerjasama melalui lembaga perguruan tinggi yang mengelola program pendidikan ilmu perpustakaan tingkat D2, D3, S1, S2 dam S3.
B. Pendidikan dan Pelatihan Teknis. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan teknis bidang perpustakaan dan substansi lainnya. Pelaksanaan diklat ini dapat dilakukan dengan sistem swakelola leh Badan/Kantor Perpustakaan Provinsi dan Kabupaten/Kota dan kerjasama dengan Perpustakaan Nasional di Jakarta.
C. Diklat Fungsional. Melaksanakan diklat fungsional berjenjang dan tidak berjenjang sesuai dengan kewenangan yang diberikan antara Perpustakaan Nasional dengan Badan/Kantor Perpustakaan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
D. Magang. Memberikana kesempatan kepada pustakawan untuk magang di dalam dan luar negeri dibidang perpustakaan.
E. Riset. Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengkajian dikalangan pustakawan yang difasilitasi oleh pemerintah daerah.

3. Peningkatan Kesejahteraan
Belum memadainya tunjangan fungsional pustakawan juga berpengaruh terhadap kinerja pustakawan itu sendiri. Dengan otonomi daerah, kewenangan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan pustakawaan sangat dapat dimungkinkan. Oleh karena itu, Badan/Kantor Perpustakaan Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat mengusulkan kepada otoritas daerah; gubernur dan legislatif, agar dapat memperhatikan kesejahteraan fungsional pustakawan sesuai dengan kemampuan keuangan dpemerintah daerah masing-masing.

PENUTUP
Semenjak sistem pemerintahan menjadi desentralisasi dan otonomi daerah, upaya pembinaan dan pengembagan Jabatan Fungsional Pustakawan tidak lagi menjadi wewenang pemerintah atau Perpustakaan Nasional. Sangat dimungkinkan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota melalui Badan/Kantor Perpustakaan Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk lebih optimal untuk membina dan mengembangkan pustakawan di daerah masing-masing.
Berangkat dari kondisi pustakawan yang belum proporsional dan profesional diharapkan adanya program sinergi antara Perpustakaan Nasional, Departemen/Lembaga, perguruan tinggi, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota baik dalam peningkatan profesional maupun kompetensi serta peningkatan kuantitas pustakawan di daerah.