Senin, 06 Desember 2010

Perpustakaan Rakyat yang Termarginalkan

Perpustakaan Rakyat yang Termarginalkan

Oleh, Adin Bondar, S.Sos, M.Si

(Dimuat di Harian nasional "Suara Pembaruan" tanggal 14 September 2007)


B

aru saja kita memperingati kemerdekaan ke-62 tahun. Namun, acap kali kebijakan pemerintah belum berpihak pada permasalahan akar rumput. Contoh, kebijakan pendidikan yang diarahkan pada komoditas melalui liberalisasi pendidikan. Tentu, kebijakan ini sangat kontradiktif dengan prinsip pendidikan untuk semua. Pendidikan berkualitas bukan milik semua rakyat tapi milik orang yang memiliki kemampuan ekonomi saja.

Ki Hajar Dewantara, mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakat. Etimologi dan analisis pendidikan di atas jelas mensyaratkan pendidikan merupakan hak fundamental semua rakyat sebagai upaya pencerdasan untuk peningkatan kualitas hidupnya.

Akibat rendahnya akses pada pendidikan, indeks pembangunan manusia Indonesia tergolong rendah. Indonesia peringkat 110 dari 117 negara. Salah satu dimensi dasar pembangunan manusia tersebut, ditinjau dari aspek "pendidikan yang diukur dengan tingkat baca tulis" (UNDP, 2005).

Data Susenas 2004 juga menunjukkan angka buta aksara penduduk Indonesia hampir 15 juta atau 8 persen. Angka buta aksara penduduk usia muda lebih banyak ditemukan di pedesaan (15,5 : 12,8), sebaliknya angka buta aksara penduduk usia tua lebih banyak di perkotaan (39,1 : 30,4). Kemampuan keaksaraan ditentukan tingkat pendidikan sehingga mayoritas (84,3 persen) tidak/belum pernah sekolah dan sisanya pernah bersekolah maksimal sampai kelas IV SD/MI.

Alternatif Pencerdasan

Kondisi di atas menunjukkan kemampuan membaca dan menulis membutuhkan latihan dan pembinaan terus-menerus. Pada umumnya anak-anak yang putus sekolah di kelas-kelas awal SD/MI berasal dari keluarga miskin. Setelah keluar, mereka tidak bersentuhan lagi dengan buku bacaan sehingga kemampuan membaca yang memang belum stabil hilang.

Implementasi strategis yang perlu dilakukan adalah mencari alternatif yaitu perpustakaan rakyat sebagai lembaga publik yang demokratis. Masyarakat dapat mengakses, menggali sumber informasi sesuai dengan kebutuhan dan potensi masya- rakat.

Perpustakaan atau taman bacaan menjadi advokasi rakyat dalam mengembangkan diri ke arah lebih baik melalui bacaan. Sebagai alternatif pencerdasan, perpustakaan atau taman bacaan rakyat memiliki tiga fungsi pokok. Pertama, fasilitasi, media interaksi pengetahuan dengan masyarakat. Kedua, stimulasi, yaitu mempertahankan dan merangsang kemampuan membaca melalui ketersediaan bahan bacaan yang dapat diakses dengan mudah dan murah. Ketiga, pelestari, yaitu penggalian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat yang selama ini hampir punah dan tidak terkelola.

Menyadari pentingnya membaca untuk pengembangan diri, pemerintah mencanangkan Hari Kunjung Perpustakaan dan Bulan Gemar Membaca diperingati setiap 14 September. Hal itu dicanangkan tahun 1995. Presiden Yudhoyono juga memiliki perhatian dalam perpustakaan dengan dicanangkannya Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat tanggal 17 Mei 2006 di Perpustakaan Nasional RI.

Pentingnya peranan perpustakaan dalam membangun masyarakat juga menjadi agenda global melalui kesepakatan dunia World Summit of Information Society (WSIS), yaitu membangun masyarakat informasi berbasis aplikasi teknologi informasi dan telekomunikasi atau disingkat TIK, untuk pencapaian Millennium Development Goals (MDG's).

Deklarasi WSIS menyatakan potensi perpustakaan dalam menyediakan akses layanan informasi berbasis TIK bagi masyarakat. Bagaimana dengan kesiapan Indonesia?

Kenyataannya, perpustakaan masih termarginalkan dan tidak populer. Hal ini terlihat, kondisi perpustakaan secara umum masih memprihatinkan.

Contoh, perpustakaan sekolah sebagai integral proses pendidikan baru berjumlah 12.273 sekolah yang memiliki perpustakaan dari jumlah 213.815 sekolah atau sekitar 5,75 persen, sedangkan perpustakaan rakyat atau perpustakaan desa sebagai domain public baru berjumlah 781 yang memiliki perpustakaan atau 1,13 persen dari jumlah 68.816 desa yang ada (Perpusnas, NPP, 2005). Artinya fokus pengembangan perpustakaan masih belum menyentuh masyarakat yang 60 persen berada di pedesaan.

UU Perpustakaan

Peningkatan akses masyarakat terhadap perpustakaan, mendapat angin segar dengan adanya inisiasi pemerintah melahirkan UU Perpustakaan. UU ini akan menjamin perpustakaan sebagai pelayanan dasar masyarakat tanpa membedakan ekonomi dan sosial masyarakat sebagai alternatif pencerdasan rakyat.

Jika UU ini berpihak pada rakyat tentu alternatif pencerdasan rakyat akan dapat tercapai dengan baik dan terarah. Apalagi, kebijakan pemerintah dalam pendidikan sudah mengarah pada komoditas melalui liberalisasi pendidikan.

Dengan diundangkannya UU perpustakaan, apakah menjamin pertumbuhan perpustakaan rakyat? Secara empiris, kebijakan/regulasi perpustakaan oleh pemerintah dimulai sejak tahun 1950-an dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 7870/Kab Jakarta 5 Maret 1953 tentang Peraturan Perpustakaan Rakyat dan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No 3/2001 tentang Perpustakaan Desa/Kelurahan. Namun, perpustakaan rakyat masih termarginalisasi dan dipandang sebelah mata oleh pengambil kebijakan negeri ini.

Inisiasi Ani Bambang Yudhoyono perlu dijadikan dasar pengembangan perpustakaan rakyat melalui program Mobil Pintar dan Rumah Pintar yang langsung dirasakan rakyat. Ibu Negara memandang anak Indonesia sesungguhnya memiliki minat cukup tinggi dalam mem- baca.

Kepedulian masyarakat terhadap upaya pencerdasan anak bangsa melalui perpustakaan juga dibuktikan adanya inisiasi perorangan yang sungguh mulia dalam pengembangan perpustakaan rakyat. Seperti di daerah Bantul Wonogiri melalui konsep "Sepeda Ontel Perpustakaan Keliling" yang setiap hari dilakukan Sumanto dengan menyisir desa-desa di daerahnya mem- bawa setumpuk buku bacaan untuk dipinjamkan kepada anak-anak dan masyarakat.

Iswanti di Parung, Bogor, dengan perpustakaan komunitas atau taman bacaannya memberikan pelayanan gratis kepada masyarakat yang akan membaca. Beberapa organisasi dan lembaga masyarakat juga memiliki perhatian besar terhadap pengembangan perpustakaan dan budaya baca.

Perpustakaan Nasional sebagai leading sector pengembangan perpustakaan mulai menyadari pentingnya pengembangan perpustakaan rakyat sebagai upaya penguatan masyarakat desa. Kebijakan yang dilakukan dengan anggaran yang masih terbatas adalah diversifikasi layanan perpustakaan melalui mobil perpustakaan keliling (MPK) di samping diseminasi buku bacaan masyarakat daerah tertinggal, perbatasan, daerah konflik dan pascabencana.

Sampai saat ini mencapai 210 unit MPK tersebar di provinsi dan kabupaten/kota. Namun, dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah serta keterbatasan anggaran APBN implementasi strategis ini belum mampu menjawab pertumbuhan kebutuhan perpustakaan masyarakat di seluruh Tanah Air.

Permasalahan di atas, membangun pemikiran penulis dalam upaya akselerasi pengembangan perpustakaan rakyat.

Pertama, fokus pengembangan penguatan pedesaan implementasi strategis adalah penguatan perpustakaan rakyat atau taman bacaan sebagai lembaga pendidikan yang paling demokratis dalam pencerdasan masyarakat. Konsep pengembangan perpustakaan rakyat ini menempatkan perpustakaan pada setiap strata masyarakat pedesaan. Pustakawan dijadikan sebagai advokator masyarakat dalam menjamin kelangsungan pendidikan sepanjang hayat.

Kedua, konsep pendanaan dan pembangunan perpustakaan rakyat berbasis semangat gotong-royong. Artinya, perpustakaan desa/taman bacaan dan sekolah harus menjadi pembangunan prioritas melalui kemitraan.

Pencapaian pembangunan perpustakaan di samping didanai APBN juga didanai partisipasi masyarakat yang diatur dalam UU Perpustakaan. Di samping itu, perpustakaan rakyat yang telah ada harus mendapat bantuan dana dari pemerintah agar kelangsungannya dapat terjamin. Realita, hampir seluruh kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah dalam rencana strategisnya tidak ada yang berfokus pada penguatan perpustakaan masyarakat. Bandingkan, APBN Perpustakaan Nasional tahun 2006 hanya sebesar Rp 200 miliar dan penguatan perpustakaan rakyat hanya sebatas pengembangan koleksi.

Ketika Jepang dilanda gempa pada 1995 yang disebut dengan Gempa Kobe dan meluluhlantakkan permukiman masyarakat, pada saat itu pemerintah Jepang tidak mampu sendirian untuk merekonstruksi kembali rumah dan fasilitas penduduk yang hancur. Percepatan pemulihan adalah dikarenakan masyarakat setempat berpartisipasi dalam mengkonstruksi kembali permukiman mereka melalui semangat kebangkitan "Machizukuri". Sesungguhnya, masyarakat Indonesia telah mengenal sejak dulu partisipasi atau gotong-royong sebagai modal sosial masyarakat. Namun, belakangan ini kearifan lokal itu tidak lagi dimiliki bangsa ini.

*) Penulis adalah Perencana Muda Perpustakaan Nasional berdomisili di Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar