Minggu, 03 Juli 2011

TRANSFORMASI STRATEGI PEMBANGUNAN SDM INDONESIA MENGHADAPI GLOBALISASI

Oleh, Adin Bondar, S.Sos, M.Si [1]

Pendahuluan

Globalisasi dan liberalisasi sebagai konsekuensi kemajuan peradaban manusia tidak dapat diabaikan. Artinya, tidak adapun satu individu, masyarakat, bangsa yang luput dari pengaruh globalisasi dan liberalisasi. Peradaban baru ini telah dikemukakan oleh ahli futurolog Jhon Naisbitt (2000) bahwa akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi timbul keniscayaan dan dunia menjadi sebuah perkampungan kecil yang disebut “global village” dimana dunia menjadi tanpa batas dan informasi dan komunikasi memiliki peranan penting dalam peradaban manusia. Friedman (2006) juga mengingatkan dalam bukunya “The World is Flat” bahwa terjadi perubahan mendasar dalam perekonomian antarbangsa yang dipicu oleh perkembangan pesat di bidang teknologi telekomunikasi, transportasi dan turisme. Revolusi ini menyebkan pergerakan barang dan jasa serta faktor-faktor produksi ibarat arus air yang mengalir deras kesegala penjuru dunia. Lalu, kita semakin akrab dengan kata globalisasi yang menggambarkan dunia tanpa batas (borderless world). Alasan-alasan mengapa mendatarnya dunia “pada waktunya akan dilihat sebaga salah satu pergeseran mendasar atau titik balik. Penjelasan ”uploading” sebagai salah satu dari 10 kekuatan yang mendatar dunia, seperti blogging atau sekarang facebook, perangkat lunak open-source, proyek-proyek pengetahuan yang terintegrasi seperti Wikipedia, dan podcasting. Ini semua memungkinkan individu-individu memberikan berbagai pengalaman dan pendapatnya keseluruh dunia.

Pertanyaan kritis dalam perspektif sumber daya manusia Indonesia berkaitan dengan globalisasi adalah, ”bagaimana kesiapan bangsa Indonesia dalam menghadapi globalisasi dan liberalisasi dan apakah pemerintah memiliki sense of crisis terhadap situasi ini?"

Jika kita menganalisis masalah SDM Indonesia baik dalam perspektif produktifitas, budaya kerja, dan daya saing sangant rendah. Indonesia berada di bawah negara-negara Asia yaitu nomor 50 dari 131 negara (Depnakertrans dalam IPM, 2007). Rendahnya daya saing SDM tidak menjadi new inisiative dalam membuat kebijakan strategis dalam mendesain pembangunan nasional. Padahal, sejak Februari 2010 kerjasama dagang dalam wadah ASEAN Free Trade Area (AFTA) diberlakukan sebagai wujud kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi ± 600 juta penduduknya. Penerapan AFTA 2010 berarti menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015. Indonesia akan menjadi negara terbuka yang akan dibanjiri oleh pekerja asing (foreign workers).

Dampak Globalisasi dan Lonceng Kematian

Darwin dalam teorinya yang terkenal “nutural selection” atau seleksi alam mengemukakan bahwa terjadinya sepesis baru karena seleksi alam. Artinya, bahwa mereka yang dapat menyesuaikan diri akan menjadi pemenang, sedangkan yang tidak dapat menyesuaikan diri akan tergilas. Dalam konteks globalisasi terjadi persaingan yang begitu ketat atau persaingan head to head yang mengandalkan knowledge base intelligence di seluruh aspek kehidupan baik dalam aspek bisnis, pertanian, kesehatan, pendidikan, dll. Penulis mengkawatirkan bahwa era globalisasi dan liberalisasi perdagangan bebas akan membawa pengaruh buruk bagi masyarakat Indonesia atau dapat dipastikan dengan liberalisasi dan globalisasi masyarakat Indonesia akan menajdi pengemis di negeri sendiri dan globalisasi menjadi lonceng kematian masyarakat. Kecenderungan ini sangat dimungkinkan terjadi melihat belum tajamnya grand design pembangunan sumber daya manusia dan potret kualitas SDM Indonesia secara makro yang sangat rendah.

Menurut Tilaar (1998:44-45) menyatakan dengan jelas bahwa dampak gelombang globalisasi memiliki nilai-nilai positif dan negatif seperti ancaman terhadap budaya, lunturnya identitas bangsa dan lunturnya kesadaran terhadap wawasan nusantara. Akibat gelombang globalisasi tersebut akan merubah pola hidup dan muncul sifatnya yang merugikan pribadi, masyarakat dan kehidupan berbangsan, berupa:

1. Ancaman prilaku dan budaya bangsa. Globalisasi merupakan basis revolusi teknologi informasi. Akibat teknologi tersebut maka tercipta budaya kehidupan baru yang disebut techology life stile, dimana kecenderungan aktivitas manusia akan semakin berkurang dan digantingkan oleh teknologi. Akibat peranan teknologi dan produksi berbagai jenis barang dan jasa dengan kualitas yang semakin baik dan dominan akan merangsang manusia kepada sikap hidup konsumerisme yang tidak pernah akan puas, karena kepuasan tidak pernah ada karena timbul hal baru yang setiap saat berganti. Konsumerisme akan menjadi gaya hidup yang menimbulkan sikap kedangkalan dan puas diri yang tidak ada ujungnya. Prilaku seperti ini membentuk budaya siap saji (instan). Budaya ini telah merambah dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini, budaya instan dan konsumerisme akan menjadikan orang bersifat individualis dan kapitalis. Dalam konteks budaya konsumtif ini dapat muncul quasi-religions (Najib: Kompas, 26 September 1997) yang sebenarnya merupakan pelarian dari ketidakberdayaan manusia terhadap perubahan yang cepat serta dangkal sehingga meniadakan makna hidup yang sebenarnya.

Tentu, suatu keadaan yang sangat paradoks dengan budaya bangsa yang menjunung tinggi toleransi dan gotong royong. Terbukti, paguyuban masyarakat sebagai warisan lokal sesungguhnya merupakan potensi dan kekuatan dan modal sosial (kearifan lokal) yang telah teruji dalam mempersatukan nusantara ini menjadi sebuah negara yang berdaulat oleh fouding father dan para pahlawan bangsa ini dari penjajajah.

2. Lunturnya idenitas bangsa. Pengaruh budaya global terhadap budaya lokal berarti pula suatu serangan terhadap identitas suatu bangsa. Inti dari kehidupan berbangsa adalah budaya. Apabila budaya bangsa di usik maka terusiklah pula identitas bangsa. Globalisasi dapat melunturkan rasa kebangsaan atau identitas bangsa. Oleh sebab itu, agar identitas bangsan tersebut dapat bertahan diperlukan usaha-usaha agar supaya budaya dan identitas bangsa akan tetap hidup dan berkembang di dalam budaya lokal. Strategi yang diperlukan adalah bahwa SDM yang dikembangkan berdasarkan sentuhan dari budaya masyarakat itu sendiri sehingga kekuatan sosial yang ada tetap terpelihara dengan baik.

3. Lunturnya nasionalisme dan kesadaran wawasan nusantara. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan kelautan yang berasaskan ideologi Pancasila akan mengalami distorsi. Hal ini diakibatkan terbukannya hubungan ideologi antar bangsa dikarenakan batas-batas wilayah, geografis, demografi tidak lagi menjadi hambatan. Bahkan hubungan antar individu dengan berbeda bangsa dan budaya akan dimungkinkan sehingga tidak adalagi perbedaan agama, ideologi bangsa, perbedaan budaya yang ada adalah kepentingan pribadi. Negara hanya menjadi regulator secara administratif dan politik. Contoh, dalam KTP adalah warga negara Indonesia akan tetapi dalam komunitas lain seperti komunitas maya atau syberpace orang tersebut bukan hanya warga Indonesia tapi warga asing dan bahkan menjadi seorang pimpinan komunitas Internasional melalui komunitasnya. Konteks inilah rasa nasionalisme dan wawasan nusantara menjadi kabur dan bahkan akan menjadi terkikis akibat terjadinya asimilasi ideologis dari negara-negara lain.

4. Keresahan sosial. Konsekuensi pemberlakukan pasar bebas dan globalisasi juga membawa dampak masalah sosial bagi masyarakat yang kondisi SDM rendah seperti Indonesia. Dampak sosial utama adalah lahirnya frustrasi bagi masyarakat karena tidak dapat bersaing secara kompetitif dengan orang lain. Disisi lain adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja besar-besaran diakibatkan membanjirnya tenaga-tenaga kerja dari negara lain yang lebih produktivitas dan memiliki keterampilan sehingga mengakibatkan pengangguran terbuka sehingga lonceng kematian itu tiba sendirinya.

Trilogi Kegagalan Pembangunan SDM

Kondisi perekonomian Indonesia yang semakin tidak menentu menyebabkan banyak permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satunya adalah semakin tingginya tingkat kemiskinan penduduk baik di pedesaan maupun di perkotaan, yang mengakibatkan semakin berkurangnya kemampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhannya yaitu kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier. Maka dari itu jelas, Indonesia tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhannya sendiri untuk kesejahteraan rakyat. Dengan begitu sebagai suatu Negara, Indonesia perlu melakukan perdangan internasional dengan bangsa-bangsa baik pada tingkat regional dan internasional. Filosopi perdagangan bebas pada prinsipnya adalah pertukaran resources antara negara dengan negara lain dengan tujuan saling menutupi dan melengkapi. Akan tetapi konsekuensi dari perdagangan bebas dan globalisasi mengharuskan adanya profesionalitas SDM, kelanjutan produktivitas barang, kualitas barang dan harga yang bersaing sesuai dengan standarnisasi. Ketiga faktor tersebut Indonesia sesungguhnya belum menyikapi secara komprehensif. Terbukti, belum adanya road map pengembangan SDM serta visi dan misi yang jelas yang dituangkan dalam rencana pembangunan nasional jangka panjang nasional (RPJPN) tahun 2004-2025 dalam pembangunan SDM Indonesia.

Kondisi sumber daya manusia Indonesia saat ini dari 224,90 juta penduduk, masyarakat miskin ± 35 juta dan angkatan kerja 111,48 juta (67,18%) yang memiliki pendidikan SD sebanyak 59,09 juta (53,73% ), SLTP 21,09 juta (19,17%), SLTA 22,60 juta (20,56%), Diploma 2,99 juta (2,72%), Sarjana 4,16 juta (3,78%). Dari keseluruhan angkatan kerja tersebut yang memiliki pekerjaan 102,55 juta dan pengangguran 9,39 juta (8,39%). (BPS: 2008)

Grafik 1: Target dan Realisasi Penurunan Angka Pengangguran Terbuka Tahun 2004-2009

Sumber: BPS-Agustus 2008 dan RPJMN 2004-2009


Grafik ini menunjukkan bahwa penggangguran terbuka masih cukup signifikan. Salah satu penyebabnya adalah pemerintah belum mampu untuk meningkatkan secara signifikan masyarakat bawah menjadi masyarakat menengah. Artinya, bahwa masyarakat yang berpendidikan sarjana belum tumbuh secara signifikan baru mencapai 4,16 juta (3,78%) sedangkan angkatan kerja yang berpendidikan SD sangat mendominasi 59,09 juta (53,73%). Berarti, angkatan kerja Indonesia 70% tidak memiliki keterampilan (uneducated).

Menurut penulis ada tiga pokok utama kegagalan pembangunan SDM Indonesia, antara lain:

Pertama, Liberalisasi dan ekslusivitas pendidikan. Kebijakan pemerintah terhadap liberalisasi pendidikan adalah kebijakan yang kurang tepat apabila mempelajari kondisi SDM Indonesia sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Indonesia dengan posisi negara yang memiliki GNP rendah sebesar 3.600/perjiwa, membuktikan bahwa masalah pendidikan seyogianya tidak diliberalisasi. Pemerintah perlu menjamin pendidikan setiap masyarakat dan memberikan subsidi paling besar sebagai hak masyarakat. Liberalisasi pendidikan akan membawa permasalahan serius terhadap akses masyarakat memperoleh pendidikan yang baik dan berkualitas. Realita, ketika pendidikan menjadi mahal berdampak langsung dengan banyaknya siswa yang putus sekolah setiap tahun. Kondisi ini tidak sesuai lagi dengan prinsip “education for all” atau pendidikan untuk semua. Pendidikan hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki modal finansial. Pendidikan tidak berpihak kepada rakyat miskin. Kebijakan seperti ini tidak akan mampu untuk membangun masyarakat menengah baru, akan tetapi masyarakat menengah akan stagnan pada posisi 3,78% (berpendidikan S1) yang memiliki akses yang baik terhadap pendidikan sedangkan pembentukan masyarakat menengah dari masyarakat berpendidikan SD sebesar 53,73% tidak mungkin akan tercapai.

Kedua, Sistem pendidikan tidak link and mach terhadap penyediaan lapangan kerja. Kata kunci pembangunan kualitas SDM adalah melalui pendidikan. Pendidikan sebagai instrumen strategis dalam pengembangan SDM seyogianya menghasilkan insan-insan yang cerdas dan terampil. Sistem pendidikan nasional selama ini menitikberatkan pada kuantitas dan kualitas pengetahuan umum, bukan pada pengembangan sekolah-sekolah terampil atau pendidikan terampil yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan pekerjaan dengan basis sosial kutrural dan potensi daerah. Sehingga, lulusan SLTA kurang memiliki enterprenuership atau kewiraswastaan dan juga tidak siap pakai dalam memenuhi kebutuhan lapangan kerja.

Ketiga, Pembangunan SDM tidak prioritas pembangunan. Dalam upaya peningkatan SDM Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya serius dalam penanganan krisis kualitas SDM. Terbukti, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2000-2025 sebagai blueprint pembangunan nasional bahwa target pembangunan kualitas SDM belum maksimal dan menjadi prioritas pembangunan nasional. Jika kita melihat Negara tetangga Malaysia sejak tahun 1990 telah memproyeksikan pembangunan nasionalnya tahun 2020 dengan melihat berbagai tantangan serta peluang untuk mewujudkan masyarakat industri Malaysia pada tahun 2020 dan bahkan dituangkan dalam visi negara Malaysia sebagai “Truly Asia”. Untuk mencapai tujuan nasionalnya maka seluruh sektor telah dipersiapkan untuk menghadapi peluang-peluang tersebut. Demikian pula Negara Kanada mereka telah mencoba memetakan maslah pendidikan Kanada 2020 di dalam menghadapi perkembangan yang besar di kawasan Asia Fasifik dengan visi “the Futures of Canadian Education”.

Negara China juga mengantisipasi globalisasi melalui kebijakan ekspansi melalui pendidikan. Dimulai tahun 1979 lebih dari 1 juta penduduk China menempuh pendidikan di 100 negara dan 300.000 orang kembali membangun negara China. Disamping, memberi kesempatan terhadap 1 juta lebih pelajar asing dari 188 negara menuntut ilmu di 544 universitas di China.

Strategi Baru Pembangunan SDM Indonesia

Pengembangan sumber daya manusia dapat didekati dengan konsep human resources management. Menurut Ulrich bahwa SDM dalam konteks organisasi dan perusahaan ada empat peranan utama sumber daya manusia (human resources) yaitu; (i) ahli dalam proses administrasi (management of firm infrastructure), (ii) ahli pada wilayah kontribusi (management of the employee contribution); (iii) menjadi agen perubahan (management of transformation and change); (iv) sebagai mitra dalam penentuan strategi perusahaan (management of strategic human resources). Dalam persfektif organisasi maupun negara, mengoptimalkan peranan sumber daya manusia pada kondisi tingkat persaingan sangat ketat dan perubahan sudah tidak dapat ditolak. Dalam pespektif pembangunan nasional sekalipun, jelas peranan sumber daya manusia memiliki berperan strategis baik sebagai subyek dan obyek pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu, sumber daya manusia harus bermain pada wilayah yang lebih cerdas dan menantang yaitu mitra strategis, pengawal perubahan dan pelaku transformasi. Tanpa sumber daya manusia seperti ini baik organisasi dan negara harus bersiap untuk tiarap lantara tidak mampu bersaing karena manusia di dalamnya tidak berkompeten dalam menghadapi perubahan dan bahkan akan menjadi resisten terhadap perubahan itu sendiri.

Manusia adalah sebagai target sentra dalam menghadapi globalisasi artinya, sumber daya manusia menjadi obyek dan subyek dalam globalisasi. Oleh sebab itu diperlukan tiga konsep SDM yaitu; (i) sumber daya manusia unggul yang mampu bersaing secara kompetitif; (ii) sumber daya manusia yang terus-menerus belajar; (iii) sumber daya manusia yang memiliki nilai-nilai yang perlu dikembangkan. Didalam pengembangan manusia unggul yang kompetitif diperlukan sifat-sifat sumber daya manusia sebagai berikut; Pertama, kemampuan untuk mengembangkan jaringan-jaringan kerjasama (networking). Networking ini semakin diperlukan oleh karena manusia tidak lagi hidup parsial atau terpisah-pisah tetapi sangat tergantung dan saling interkoneksi secara interkontinental tanpa batas. Oleh karena itu diperlukan sumber daya manusia yang ahli di dalam networking melalui penguasaan bahasa asing dan teknologi informasi. Tanpa jejaring kerjasama maka perluasan pasar akan semakin sulit; kedua, kerjasama (teamwork). Setiap orang dalam era perdagangan bebas dan globalisasi mempunyai kesempatan untuk mengembangkan keunggulan spesifiknya. SDM yang dikembangkan kemampuan spesifiknya membangun suatu teamwork yang pada gilirannya dapat menghasilkan produktivitas yang baik dan dapat berkompetisi dengan produk lain; ketiga, berkaitan dengan prinsip kerjasama di atas adalah cinta kepada kualitas tinggi melalui standarisasi internasional. Manusia yang unggul adalah yang terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam melaksanakan sesuatu sehingga kualitas yang dicapai terus disempurnakan. Oleh sebab itu, penulis menawarkan strategi baru dalam pembangunan SDM Indonesia berkaitan dengan globalisasi dan perdagangan bebas;

1. Pendidikan yang murah dapat dijangkau masyarakat. Instrumen strategis dalam meningkatkan SDM yang berkualitas adalah pendidikan. Sebagaimana dalam UUD 1945, bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh pemerintah hal ini sesuai dengan prinsip pendidikan untuk semua “education for all”. Oleh sebab itulah, akses masyarakat terhadap pendidikan harus dilandasi dengan hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan terjangkau.

2. Reformasi Sistem Pendidikan; Link and Mach, Job Oriented dan Pengajaran Budi Pekerti (Kejujuran). Pendidikan sebagai pilar utama dalam peningkatan kualitas SDM bukan lagi pendekatan ”output oriented” tapi harus berubah menjadi ”job oriented”. Pendidikan harus menjadikan seseorang menjadi terampil dalam bidang tertentu dan juga budi pekerti. Potensi ini juga harus disesuaikan dengan potensi daerah, sebagaimana saat ini dengan diberlakukannya otonomi daerah. Daerah penjadi lokus strategis dalam partisipasi pembangunan. Bukan lagi tersentralisasi di pusat akan tetapi daerah memiliki peluang lapangan pekerjaan baru. Sistem pendidikan baru harus mampu mengintegrasikan potensi lokal dengan sistem pendidikan nasional. Ujian nasional bukan hanya instrumen kelulusan akan tetapi juga pemetaan pengembangan bakat dan potensi siswa, dengan rencana aksi pemerintah memberikan beasiswa kepada siswa-siswa berprestasi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di dalam dan luar negeri sesuai dengan bidang keilmuan yang diminati.

Dalam konteks otonomi daerah pemerintah harus mampu membangunan sekolah-sekolah menegah kejuruan sesuai dengan potensi daerah seperti sekolah perikanan, pertanian, kejuruan, kelautan, teknik mesin, tekstil, dll., dan juga pendidikan budi penkerti atau kejujuran sebagai landasan moral bagi generasi muda dalam membangun kehidupannya yang lebih baik.

3. Realokasi, Pengelolaan Iklim Tenaga Kerja dan revitalisasi Diklat SDM. Membanjirnya produk-produk dari negara China yang murah dan terjangkau sehingga menguasai pangsa pasar dalam negeri dan hampir 60% produk tektil, sepatu, mainan anak dikuasai China. Kondisi ini berdampak terhadap produktivitas industri dalam negeri sehingga banyak industri yang gulung tikar dan terjadi pemutusan hubungan kerja. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera memfasilitasi realokasi terhadap sektor tenaga kerja yaitu membangun infrastruktur pekerjaan bidang pertanian, perkebunan dan kelautan sebagai potensi sumber daya terbesar negara ini. Strategi laian dalam upaya membatasi pekerja asing pemerintah perlu segera membuat regulasi yang kuat seperti pemberlakuan bahasa Indonesia bagi pekerja asing yang akan masuk ke Indoensia. Disamping itu, pengelolaan iklim tenaga kerja yang kondusif seperti penyempurnaan regulasi yang berpihak pada pekerja, membangun hubungan industrial, jaminan sosial dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.

4. Menjadikan pembangunan SDM mainstreming program pembangunan nasional. Belajar dari negara-negara berkembang seperti Malaysia dan China yang memiliki strategi pembangunan SDM yang betul-betul menjadi fokus pembangunan nasional sehingga miliki daya saing dan keunggulan kompetitif di pasar global. Indonesia dalam perspektif pembangunan SDM harus dijadikan sebagai mainstreming program nasional. Artinya, pengarus utamaan pembangunan SDM melalui grand strategy nasional dimana setiap program kementerian/lembaga harus mendukung pembangunan SDM dengan target mengangkat masyarakat menegah 50% dalam kurun waktu 25 tahun. Sasaran ini dituangkan dalam target pemerintah pusat, daerah provinsi dan kabupaten/kota dengan visi dan misi yang semuanya bermuara pada basis pengembangan SDM, diantaranya dengembangan infrastruktur SDM seperti pendidikan dan pelatihan dan juga tata ruang struktur industri nasional.

Penutup

Perspektif globalisasi dan liberalisasi perdagangan bebas memiliki dampak signifikan terhadap pembangunan SDM Indonesia. Globalisasi membawa dunia tanpa batas (borderless world), diantaranya disepakatinya ASEAN Free Trade Area (AFTA) mengakibatkan keunggulan dan persaingan kompetitif dibidang sumber daya manusia, produktivitas, dan daya saing barang dan jasa sesuai dengan standarnisasi. Berdasarkan kondisi SDM Indoensia diperlukan reorientasi strategi baru kebijakan pembangunan SDM Indonesia melalui pendidikan yang murah, reformasi sistem pendidikan, realokasi, pengelolaan iklim tenaga kerja dan revitalisasi Diklat SDM dan Menjadikan pembangunan SDM mainstreming program pembangunan nasional melalui target menciptakan 50% masyarakat menegah.

Daftar Pustaka

Dessler, Gary. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia, alih bahasa Pramita Rahayu edisi 10. New Jersey : Prentice Hall,.

Hall, Radlet W. 2008. The new Human Capital Strategy: Improving the Value of Your Most Important Investment-Year After Year, New York : AMACOM.

Friedman, Thomas L., kata pengantar Faisal H. Basri. 2006. The World Is Flat, Jakarta : Dian Rakyat.

Naisbitt, Jhon. 2010. China’s Megatrends: the 8 pillars of a new society, New York : HarperCollins Publishers.

Ulrich, Dave, [et.al]. 2009. HR transformation: building human resources form the outside in, New York : Mc Graw Hill.

Pasmore, Willian A. 1994. Creating Strategic Change: designing the flexible, high-performing organization. Canada : John Wiley & Son.

Tilaar, H.A.R. 1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: dalam persfektif abad 21, Magelang : Tera Indonesia



[1] Artikel ini sudah dimuat di majalah “SIMPUL PERENCANA”- BAPPENAS, Vol. 15. Th. 7 Desember 2010

Senin, 06 Desember 2010

Perpustakaan Rakyat yang Termarginalkan

Perpustakaan Rakyat yang Termarginalkan

Oleh, Adin Bondar, S.Sos, M.Si

(Dimuat di Harian nasional "Suara Pembaruan" tanggal 14 September 2007)


B

aru saja kita memperingati kemerdekaan ke-62 tahun. Namun, acap kali kebijakan pemerintah belum berpihak pada permasalahan akar rumput. Contoh, kebijakan pendidikan yang diarahkan pada komoditas melalui liberalisasi pendidikan. Tentu, kebijakan ini sangat kontradiktif dengan prinsip pendidikan untuk semua. Pendidikan berkualitas bukan milik semua rakyat tapi milik orang yang memiliki kemampuan ekonomi saja.

Ki Hajar Dewantara, mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakat. Etimologi dan analisis pendidikan di atas jelas mensyaratkan pendidikan merupakan hak fundamental semua rakyat sebagai upaya pencerdasan untuk peningkatan kualitas hidupnya.

Akibat rendahnya akses pada pendidikan, indeks pembangunan manusia Indonesia tergolong rendah. Indonesia peringkat 110 dari 117 negara. Salah satu dimensi dasar pembangunan manusia tersebut, ditinjau dari aspek "pendidikan yang diukur dengan tingkat baca tulis" (UNDP, 2005).

Data Susenas 2004 juga menunjukkan angka buta aksara penduduk Indonesia hampir 15 juta atau 8 persen. Angka buta aksara penduduk usia muda lebih banyak ditemukan di pedesaan (15,5 : 12,8), sebaliknya angka buta aksara penduduk usia tua lebih banyak di perkotaan (39,1 : 30,4). Kemampuan keaksaraan ditentukan tingkat pendidikan sehingga mayoritas (84,3 persen) tidak/belum pernah sekolah dan sisanya pernah bersekolah maksimal sampai kelas IV SD/MI.

Alternatif Pencerdasan

Kondisi di atas menunjukkan kemampuan membaca dan menulis membutuhkan latihan dan pembinaan terus-menerus. Pada umumnya anak-anak yang putus sekolah di kelas-kelas awal SD/MI berasal dari keluarga miskin. Setelah keluar, mereka tidak bersentuhan lagi dengan buku bacaan sehingga kemampuan membaca yang memang belum stabil hilang.

Implementasi strategis yang perlu dilakukan adalah mencari alternatif yaitu perpustakaan rakyat sebagai lembaga publik yang demokratis. Masyarakat dapat mengakses, menggali sumber informasi sesuai dengan kebutuhan dan potensi masya- rakat.

Perpustakaan atau taman bacaan menjadi advokasi rakyat dalam mengembangkan diri ke arah lebih baik melalui bacaan. Sebagai alternatif pencerdasan, perpustakaan atau taman bacaan rakyat memiliki tiga fungsi pokok. Pertama, fasilitasi, media interaksi pengetahuan dengan masyarakat. Kedua, stimulasi, yaitu mempertahankan dan merangsang kemampuan membaca melalui ketersediaan bahan bacaan yang dapat diakses dengan mudah dan murah. Ketiga, pelestari, yaitu penggalian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat yang selama ini hampir punah dan tidak terkelola.

Menyadari pentingnya membaca untuk pengembangan diri, pemerintah mencanangkan Hari Kunjung Perpustakaan dan Bulan Gemar Membaca diperingati setiap 14 September. Hal itu dicanangkan tahun 1995. Presiden Yudhoyono juga memiliki perhatian dalam perpustakaan dengan dicanangkannya Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat tanggal 17 Mei 2006 di Perpustakaan Nasional RI.

Pentingnya peranan perpustakaan dalam membangun masyarakat juga menjadi agenda global melalui kesepakatan dunia World Summit of Information Society (WSIS), yaitu membangun masyarakat informasi berbasis aplikasi teknologi informasi dan telekomunikasi atau disingkat TIK, untuk pencapaian Millennium Development Goals (MDG's).

Deklarasi WSIS menyatakan potensi perpustakaan dalam menyediakan akses layanan informasi berbasis TIK bagi masyarakat. Bagaimana dengan kesiapan Indonesia?

Kenyataannya, perpustakaan masih termarginalkan dan tidak populer. Hal ini terlihat, kondisi perpustakaan secara umum masih memprihatinkan.

Contoh, perpustakaan sekolah sebagai integral proses pendidikan baru berjumlah 12.273 sekolah yang memiliki perpustakaan dari jumlah 213.815 sekolah atau sekitar 5,75 persen, sedangkan perpustakaan rakyat atau perpustakaan desa sebagai domain public baru berjumlah 781 yang memiliki perpustakaan atau 1,13 persen dari jumlah 68.816 desa yang ada (Perpusnas, NPP, 2005). Artinya fokus pengembangan perpustakaan masih belum menyentuh masyarakat yang 60 persen berada di pedesaan.

UU Perpustakaan

Peningkatan akses masyarakat terhadap perpustakaan, mendapat angin segar dengan adanya inisiasi pemerintah melahirkan UU Perpustakaan. UU ini akan menjamin perpustakaan sebagai pelayanan dasar masyarakat tanpa membedakan ekonomi dan sosial masyarakat sebagai alternatif pencerdasan rakyat.

Jika UU ini berpihak pada rakyat tentu alternatif pencerdasan rakyat akan dapat tercapai dengan baik dan terarah. Apalagi, kebijakan pemerintah dalam pendidikan sudah mengarah pada komoditas melalui liberalisasi pendidikan.

Dengan diundangkannya UU perpustakaan, apakah menjamin pertumbuhan perpustakaan rakyat? Secara empiris, kebijakan/regulasi perpustakaan oleh pemerintah dimulai sejak tahun 1950-an dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 7870/Kab Jakarta 5 Maret 1953 tentang Peraturan Perpustakaan Rakyat dan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No 3/2001 tentang Perpustakaan Desa/Kelurahan. Namun, perpustakaan rakyat masih termarginalisasi dan dipandang sebelah mata oleh pengambil kebijakan negeri ini.

Inisiasi Ani Bambang Yudhoyono perlu dijadikan dasar pengembangan perpustakaan rakyat melalui program Mobil Pintar dan Rumah Pintar yang langsung dirasakan rakyat. Ibu Negara memandang anak Indonesia sesungguhnya memiliki minat cukup tinggi dalam mem- baca.

Kepedulian masyarakat terhadap upaya pencerdasan anak bangsa melalui perpustakaan juga dibuktikan adanya inisiasi perorangan yang sungguh mulia dalam pengembangan perpustakaan rakyat. Seperti di daerah Bantul Wonogiri melalui konsep "Sepeda Ontel Perpustakaan Keliling" yang setiap hari dilakukan Sumanto dengan menyisir desa-desa di daerahnya mem- bawa setumpuk buku bacaan untuk dipinjamkan kepada anak-anak dan masyarakat.

Iswanti di Parung, Bogor, dengan perpustakaan komunitas atau taman bacaannya memberikan pelayanan gratis kepada masyarakat yang akan membaca. Beberapa organisasi dan lembaga masyarakat juga memiliki perhatian besar terhadap pengembangan perpustakaan dan budaya baca.

Perpustakaan Nasional sebagai leading sector pengembangan perpustakaan mulai menyadari pentingnya pengembangan perpustakaan rakyat sebagai upaya penguatan masyarakat desa. Kebijakan yang dilakukan dengan anggaran yang masih terbatas adalah diversifikasi layanan perpustakaan melalui mobil perpustakaan keliling (MPK) di samping diseminasi buku bacaan masyarakat daerah tertinggal, perbatasan, daerah konflik dan pascabencana.

Sampai saat ini mencapai 210 unit MPK tersebar di provinsi dan kabupaten/kota. Namun, dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah serta keterbatasan anggaran APBN implementasi strategis ini belum mampu menjawab pertumbuhan kebutuhan perpustakaan masyarakat di seluruh Tanah Air.

Permasalahan di atas, membangun pemikiran penulis dalam upaya akselerasi pengembangan perpustakaan rakyat.

Pertama, fokus pengembangan penguatan pedesaan implementasi strategis adalah penguatan perpustakaan rakyat atau taman bacaan sebagai lembaga pendidikan yang paling demokratis dalam pencerdasan masyarakat. Konsep pengembangan perpustakaan rakyat ini menempatkan perpustakaan pada setiap strata masyarakat pedesaan. Pustakawan dijadikan sebagai advokator masyarakat dalam menjamin kelangsungan pendidikan sepanjang hayat.

Kedua, konsep pendanaan dan pembangunan perpustakaan rakyat berbasis semangat gotong-royong. Artinya, perpustakaan desa/taman bacaan dan sekolah harus menjadi pembangunan prioritas melalui kemitraan.

Pencapaian pembangunan perpustakaan di samping didanai APBN juga didanai partisipasi masyarakat yang diatur dalam UU Perpustakaan. Di samping itu, perpustakaan rakyat yang telah ada harus mendapat bantuan dana dari pemerintah agar kelangsungannya dapat terjamin. Realita, hampir seluruh kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah dalam rencana strategisnya tidak ada yang berfokus pada penguatan perpustakaan masyarakat. Bandingkan, APBN Perpustakaan Nasional tahun 2006 hanya sebesar Rp 200 miliar dan penguatan perpustakaan rakyat hanya sebatas pengembangan koleksi.

Ketika Jepang dilanda gempa pada 1995 yang disebut dengan Gempa Kobe dan meluluhlantakkan permukiman masyarakat, pada saat itu pemerintah Jepang tidak mampu sendirian untuk merekonstruksi kembali rumah dan fasilitas penduduk yang hancur. Percepatan pemulihan adalah dikarenakan masyarakat setempat berpartisipasi dalam mengkonstruksi kembali permukiman mereka melalui semangat kebangkitan "Machizukuri". Sesungguhnya, masyarakat Indonesia telah mengenal sejak dulu partisipasi atau gotong-royong sebagai modal sosial masyarakat. Namun, belakangan ini kearifan lokal itu tidak lagi dimiliki bangsa ini.

*) Penulis adalah Perencana Muda Perpustakaan Nasional berdomisili di Jakarta